Sesungguhnya
bagaimana sih hakikatnya menjalin sebuah hubungan? Apakah cukup dengan berjanji
untuk tidak pergi? Katanya, hubungan dan cinta perlu adanya kesetiaan. Lantas
bagaimana hakikatnya kesetiaan? Apakah cukup dengan tetap menjadi milik tapi
tidak selalu memeluk? Kemudian ketiadaannya, apapun dijadikan alasan termasuk
kesibukan sehari-hari. Mulai dari banyak tugas dari dosen, banyak deadline dari
atasan, rapat, diskusi, kepanitiaan acara, dan lain sebagainya. Hingga
mengurangi frekuensi pertemuan. Hingga menyisakan rindu yang seringkali
menyesakkan kalbu.
Hingga
malam sudah selarut ini, aku masih terjaga. Mataku masih terisak disiksa oleh
sesak rinduku padamu yang terus menggebu. Segala tentangmu terus menerus
berlarian di kepala. Rindu ini membuatku gelisah, sayang. Sementara kamu tidak
kunjung datang ataupun menghubungi. Mengirimiku pesan whatsapp saja untuk
sekadar menanyakan kabar pun tidak. Aku pun sudah berkali-kali memulai duluan.
Hingga tanganku bosan untuk mengetiknya untukmu. Bukan bosan, lebih tepatnya
enggan karena pada akhirnya berujung pada keacuhan. Ada apa, sayang?
Katakanlah! Apabila ada yang kurang sesuai bagimu akhir-akhir ini, beritahu
saja. Tegur aku untuk segala keteledoran. Tapi kamu tidak kunjung berkata
apapun. Aku sampai bingung harus bagaimana untuk mengatakan atau sekadar
menyapamu. Air ,mataku semakin pecah di atas boneka pemberianmu saat hari
ulangtahunku. Sebab aku sembari memeluknya. Setidaknya untuk sedikit terasa
seperti memelukmu. Tapi nyatanya tidak cukup untuk mengobati rasa rindu. Aku
masih saja dirundung resah dan gelisah. Aku berusaha menenangkan diriku
sendiri. Mendengarkan lagu-lagu kesukaan dan menonton film komedi. Sesekali
memakan beberapa batang cokelat. Tidak peduli meski sudah larut malam. Aku
tidak takut memiliki tubuh yang gemuk. Aku lebih takut akan dirimu, sayang. Aku
takut kehilanganmu. Aku berusaha memejamkan mata. Tapi yang terjadi hanya
berguling-gulingan kesana kemari mengelilingi tempat tidur. Aaaaaaargh! Ingin
rasanya ku teriak saja. Berharap rasa khawatir, resah, dan gelisah sampai
kepadamu. Aku ingin kamu hadir saat ini juga. Setidaknya untuk malam ini. Aku
sungguh merindukanmu.
Mengapa
kamu tidak kunjung datang menemuiku? Kamu kemana? Terakhir kamu katakan padaku
bahwa kamu memiliki banyak tugas dan acara. Setelah semuanya selesai, kamu akan
kembali padaku. Aku percaya saja. Aku percaya ketika kamu mengatakan semua demi
kebaikan kita. Semoga kamu akan kembali setelah semua semua tugasmu selesai.
Hingga
berbulan-bulan lamanya, terhitung sudah mencapai 5 bulan tanpa komunikasi dan
tanpa kepastian, aku masih menunggumu. Beberapa teman menyarankanku untuk
menyudahi saja. Sebab tanpa kabar menimbulkan kecurigaan akan apapun termasuk
kesetiaanmu. Mereka merasa khawatir akan hatiku, juga merasa kasihan akan
diriku yang terkesan digantungkan. Tapi aku memilih untuk tidak peduli. Sebuah
cincin manis darimu sudah melingkar di jariku. Kamu sudah melamarku kala itu.
Kamu pun sudah berjanji akan menikahiku. Oleh karena itu, hatiku masih tetap
kekeuh untuk mempercayaimu. Aku masih yakin kamu akan kembali padaku.
Hingga
3 bulan kemudian, berarti terhitung 8 bulan sudah bertahan dalam hubungan yang
kata teman-teman adalah hubungan yang menggantung, kamu kembali menghubungiku.
Kamu ingin menemuiku saat ini juga. Aku beritahu kamu bahwa saat ini aku sedang
berada di apartementku. Tidak lama kemudian, kamu akhirnya datang tepat pada
pukul 03.00 dini hari. Ya, kamu mengunjungi apartementku kembali. Sebagaimana 8
bulan lalu, kamu masih sering mengunjungi.
Kemudian
lantas saja aku membiarkanmu masuk. Tanpa basa-basi, kamu pun langsung
memelukku erat sekali. Ah, bahagianya. Sudah lama sekali aku merindukan pelukan
hangatmu. Di dadamu, aku menyesap aroma tubuhmu berkali-kali. Tapi sebentar,
sebentar, ada aroma yang mengganjal. Semacam aroma alkohol yang menyengat. Lalu
tanpa basa-basi, kamu mengarahkan bibirmu ke bibirku. Tapi aku menghindar. Aku
melihat sesuatu yang berbeda padamu. Ini lebih dari aroma alkohol dari jenis
minuman keras apapun atau terkaan-terkaan habis pergi kemana dirimu sebelumnya.
Aku melihat sesuatu yang lain, seperti menjelaskan bahwa kamu bukan hanya habis
meminum minuman keras di sebuah club malam, bar and kitchen, ataupun sekadar
house party. Aku semacam melihat kecurangan. Aku melihat sosok perempuan lain.
Aku melihat bekas bibir lain di bibir manismu.
Ya,
begitulah yang ku lihat dan yang ku rasa. Lalu firasatku semacam langsung
menyetujuinya. Sehingga membuatku yakin bahwa apa yang aku lihat tersebut
tidaklah salah.
Mungkin
ini aneh bagimu. Tapi tidak bagiku. Kamu pernah dengar mengenai mitos yang
mengatakan bahwa akan selalu ada yang tertinggal dari sebuah kecupan? Ada yang
bilang rupanya bisa seperti bekas sesuatu yang mengelupas yang berbentuk
garis-garis vertikal. Ada juga yang bilang rupanya adalah bibir yang tidak lagi
tampak segar, semacam pucat atau kusam. Kamu pasti tidak akan mempercayainya.
Kamu sangat menganut pada logika dan peradaban modern dimana semua sudah bisa
dijelaskan secara ilmiah dan menggunakan akal serta logika. Kamu tidak pernah
mempercayainya. Aku pun tidak percaya. Aku setuju padamu, juga pendapatmu
tentang peradaban modern itu. Tapi pada dini hari ini, mengapa aku melihat
sesuatu di bibirmu? Apakah aku mempercayai mitos? Mungkin saja mitos juga
mengatakan bahwa kecupan bisa meninggalkan bekas sebuah bibir. Tapi aku sudah
hidup di jaman modern. Semuanya bisa dijelaskan dengan penalaran, bukan? Tapi
mengapa aku tetap melihat seorang perempuan lain? Terlebih lagi, firasat pun
menyetujuinya. Seakan membuatnya semakin jelas terlihat. Tapi mengapa aku harus
melihatnya? Apa yang telah terjadi, sayang?
Kamu
terus meliuk-liuk berusaha menggodaku untuk menerima kecupanmu dengan kondisi
yang kurang sadarkan diri, juga tanganmu yang terus menerus mengelus lembut
kepalaku. Sementara aku berusaha menahan tubuhmu agar tidak terjatuh.
Dengan
langkah terseok-seok, aku berusaha membaringkanmu di atas tempat tidurku.
Selepas itu, aku berpindah ke kamar sofa di ruang tamu untuk beristirahat.
Ketika kamu masih berusaha untuk mengecup bibirku, aku tetap bersikeras
menolaknya. Tidak, sayang. Tidak untuk malam ini. Tidak juga untuk malam-malam
berikutnya. Sebab aku melihat bekas bibir lain di bibir manismu, hatiku
seketika tersayat-sayat tidak menentu. Meski hal tersebut belum tentu. Tapi
firasatku terus menerus meyakinkanku.
Aku
taruh tas kecil dan ponsel pintarmu di atas meja sebelah tempat tidurku.
Kemudian ponsel pintarmu bergetar menunjukkan ada pesan masuk dari kontak
dengan nama Fira.
“Thank
you for tonight.” Katanya disertai dengan simbol love setelahnya.
Ah,
sial. Ponsel pintarmu kamu amankan dengan pin. Aku jadi tidak bisa membuka
pesan itu. Lantas saja aku bertanya-tanya. Siapa Fira? Apa yang telah kamu
lakukan malam ini? Apa yang telah kamu lakukan bersama Fira?
Di
atas sofa seorang diri, mataku tidak lantas terpejam. Aku masih memikirkannya.
Aku masih memikirkan apa yang ku lihat disana. Bekas bibir dan nama Fira. Apa
yang telah terjadi? Apakah kamu berniat untuk selingkuh? Siapa Fira?
Selingkuhanmu atau sekadar pelayan club? Tapi mengapa kamu lakukan ini semua?
Katamu, kamu tidak akan bermain-main di belakangku. Lalu mengapa aku
melihatnya? mengapa bukan hanya bekas bibirku yang ada disana? Mengapa harus
ada bekas bibir lain juga?
Tapi
sialnya, aku termasuk perempuan yang suka menghindari perdebatan demi keadaan
yang tetap baik-baik saja. Aku terlalu takluk dengan segala tentangmu. Entah
mengapa. Mungkin karena aku yang terlalu bodoh atau aku yang memang terlalu
mencintaimu. Sehingga apapun yang kamu sampaikan padaku mengenai kegiatanmu, aku
percaya saja.
Hingga
mengenai pesan masuk dari Fira yang membuatku bertanya-tanya, aku memilih untuk
tetap terdiam dan menerka-nerka sendiri. Tapi juga tetap berusaha untuk tidak
menimbulkan prasangka buruk apapun.
Hingga
kamu terbangun pada pagi harinya, aku tetap menyiapkan makanan kesukaanmu,
membiarkanmu menikmati sarapanmu tanpa menyinggung sedikitpun mengenai pesan
tersebut.
***
Hari
demi hari berlalu. Kami kembali menjalin komunikasi dengan baik. Kami kembali
saling mengirim pesan whatsapp satu sama lain. Kami saling bertukar kabar.
Entah kabarmu adalah sekadar kabar burung atau memang kabar yang sebenarnya,
aku kembali merasa bahagia. Aku seakan sudah memaafkan kesakitan yang kamu
berikan saat itu. Aku selalu merasa tenang dan aman ketika berada di sampingmu.
Semuanya
terasa baik-baik saja. Kamu selalu terasa menenangkan. Hingga pada malam hari,
ketika aku baru saja selesai mengikuti seminar bisnis di auditoriumnya bersama
temanku. Aku melihatmu di lobi hotel tepatnya di meja reservasi bersama perempuan
lain lalu kamu dan dirinya berjalan menuju deretan kamar dengan tanganmu yang
menggenggamnya erat. Aku pun mengikutimu hingga koridor deretan kamarnya. Kamu
sempat menoleh ke belakang, merasa ada yang mengikuti. Aku bersembunyi di balik
pembatas pintu antar kamar. Aku mengintipmu di sana. Kamu mengecup bibir
perempuan itu. Aku melihatmu mengecupnya lekat sekali di depan kedua mataku
sendiri. Kemudian kamu memasuki salah satu kamar bersama perempuan itu.
Seketika
aku mematung dibuatnya. Percaya dan tidak percaya bahwa kamu semudah itu
melakukannya. Kamu mudah sekali mengkhianati perasaan yang sudah melekat 4
tahun lamanya. Entah kata apa lagi yang menggambarkan perasaanku kali ini. Yang
jelas, yang terjadi hanyalah kekacauan yang tidak menentu. Di sepanjang
perjalanan pulang, aku menangis sejadi-jadinya dalam mobilku yang dikendarai
oleh temanku. Tapi meski demikian, aku tidak berani menegurmu. Aku meyakinkan
diri, semuanya akan baik-baik saja.
Sayang,
aku telah mempercayaimu. Aku telah memegang janjimu untuk kita menjadi sehidup
semati. Aku yakin itu. Tapi mengapa harus ada bekas bibir lain di bibir
manismu? Mengapa kemudian kamu benar-benar membenarkan dugaanku? Mengapa kamu
mengecupnya? Mengapa kamu mengecup perempuan lain? Dan asal kamu tahu, setelah
melihatmu malam itu, hatiku tercabik-cabik bagaikan ada beberapa utas tali
tambang yang digulung kemudian menyabet-nyabet. Tidak, sayang. Ini lebih dari
itu. Bahkan lebih dari sayatan pisau tajam di dapur. Ini lebih dari palu gada
yang dpukul-pukulkan ke bebatuan besar hingga remuk tidak lagi terbentuk. Tapi
kamu tidak perlu mengetahuinya. Toh, kamu tidak akan peduli ketika kamu sendiri
masih menyalahartikan kesetiaan. Kesetiaan yang kamu artikan dengan memiliki
tapi tanpa selalu memeluknya. Kamu tetap menganggap pasanganmu adalah milikmu,
tapi kamu tetap bermain kemana-mana. Kamu seakan menganggap, yang penting pada
akhirnya kamu akan bersama pasanganmu yang sesungguhnya. Kesetiaan tidak boleh
seperti itu, sayang. Kesetiaan pun sangat sakral penempatannya bagi sepasang
kekasih. Apalagi telah menyematkan janji untuk sehidup semati. Meski setia
tidak bisa direncanakan, tapi setia pun harus dijaga. Kamu tahu kan, cara untuk
menjaganya?
Meski
kamu telah melingkarkan cincin di jari manisku, kamu telah melukainya, sayang.
Kamu telah melukai betapa sakralnya arti dari cincin tersebut. Ya, cincin yang
telah kamu lingkarkan setahun yang lalu. Kamu melukai segalanya, juga cinta
yang sudah tersematkan sejak 4 tahun yang lalu saat kita baru saja memasuki
dunia perkuliahan. Sungguh tidak bisa dipercaya, yang selama ku kira kamu
baik-baik saja, kamu adalah sosok lelaki yang setia dan bertanggungjawab atas
segalanya termasuk setiap janji yang terucap, kamu dengan teganya melakukan hal
tersebut. Teman-temanku berkata bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar
apalagi untuk jaman sekarang yang sudah semakin marak perempuan penggoda baik
yang bayaran maupun tidak. Meski terkesan bajingan, yang penting pada akhirnya akan
sama pasangannya sendiri hingga ke dalam kehidupan pernikahan. Tapi tidak
bagiku, sayang. Kecurangan tetaplah kecurangan. Tapi sayangnya hatiku tidak
bisa membencimu begitu saja. Seakan sudah terpaut oleh perasaan yang begitu
pekat. Lebih pekat dari secangkir kopi espresso hangat kesukaanmu yang sering
kamu nikmati di coffeeshop langgananmu. Jangan tanyakan lagi soal ketulusannya.
Sudah terlampau dalam, lebih dalam dari dari Palung Mariana. Seharusnya kamu
pahami hal itu. Jika sudah begini adanya, aku hanya bisa pasrah pada Tuhan yang
Maha Esa.
Dan
teruntukmu, lelakiku, pujaanku, dengan segenap janji termanis yang telah
terucapkan untuk sehidup semati, yang ku harap kelak menjadi imam terbaik, aku
tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Biarpun kamu telah melukai, biarpun kamu
telah menjadi apa yang teman-temanku sebut bajingan, aku tetap menjaganya.
Menjagamu dalam segala harapan terbaik. Demi cincin manis yang telah melingkar,
demi janji, demi perasaan yang telah mengikat kuat. Yang kelak, aku yakin, kita
akan sampai pada singgahsana pelaminan yang mengantarkan seluruhnya ke dalam
kehidupan pernikahan yang membahagiakan hingga hanya maut yang memisahkan.
No comments:
Post a Comment