Sunday, May 5, 2019

Tapi Mengapa Harus Ada Bekas Bibir Lain di Bibir Manismu?


Sesungguhnya bagaimana sih hakikatnya menjalin sebuah hubungan? Apakah cukup dengan berjanji untuk tidak pergi? Katanya, hubungan dan cinta perlu adanya kesetiaan. Lantas bagaimana hakikatnya kesetiaan? Apakah cukup dengan tetap menjadi milik tapi tidak selalu memeluk? Kemudian ketiadaannya, apapun dijadikan alasan termasuk kesibukan sehari-hari. Mulai dari banyak tugas dari dosen, banyak deadline dari atasan, rapat, diskusi, kepanitiaan acara, dan lain sebagainya. Hingga mengurangi frekuensi pertemuan. Hingga menyisakan rindu yang seringkali menyesakkan kalbu. 
 
Hingga malam sudah selarut ini, aku masih terjaga. Mataku masih terisak disiksa oleh sesak rinduku padamu yang terus menggebu. Segala tentangmu terus menerus berlarian di kepala. Rindu ini membuatku gelisah, sayang. Sementara kamu tidak kunjung datang ataupun menghubungi. Mengirimiku pesan whatsapp saja untuk sekadar menanyakan kabar pun tidak. Aku pun sudah berkali-kali memulai duluan. Hingga tanganku bosan untuk mengetiknya untukmu. Bukan bosan, lebih tepatnya enggan karena pada akhirnya berujung pada keacuhan. Ada apa, sayang? Katakanlah! Apabila ada yang kurang sesuai bagimu akhir-akhir ini, beritahu saja. Tegur aku untuk segala keteledoran. Tapi kamu tidak kunjung berkata apapun. Aku sampai bingung harus bagaimana untuk mengatakan atau sekadar menyapamu. Air ,mataku semakin pecah di atas boneka pemberianmu saat hari ulangtahunku. Sebab aku sembari memeluknya. Setidaknya untuk sedikit terasa seperti memelukmu. Tapi nyatanya tidak cukup untuk mengobati rasa rindu. Aku masih saja dirundung resah dan gelisah. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Mendengarkan lagu-lagu kesukaan dan menonton film komedi. Sesekali memakan beberapa batang cokelat. Tidak peduli meski sudah larut malam. Aku tidak takut memiliki tubuh yang gemuk. Aku lebih takut akan dirimu, sayang. Aku takut kehilanganmu. Aku berusaha memejamkan mata. Tapi yang terjadi hanya berguling-gulingan kesana kemari mengelilingi tempat tidur. Aaaaaaargh! Ingin rasanya ku teriak saja. Berharap rasa khawatir, resah, dan gelisah sampai kepadamu. Aku ingin kamu hadir saat ini juga. Setidaknya untuk malam ini. Aku sungguh merindukanmu.

Mengapa kamu tidak kunjung datang menemuiku? Kamu kemana? Terakhir kamu katakan padaku bahwa kamu memiliki banyak tugas dan acara. Setelah semuanya selesai, kamu akan kembali padaku. Aku percaya saja. Aku percaya ketika kamu mengatakan semua demi kebaikan kita. Semoga kamu akan kembali setelah semua semua tugasmu selesai. 

Hingga berbulan-bulan lamanya, terhitung sudah mencapai 5 bulan tanpa komunikasi dan tanpa kepastian, aku masih menunggumu. Beberapa teman menyarankanku untuk menyudahi saja. Sebab tanpa kabar menimbulkan kecurigaan akan apapun termasuk kesetiaanmu. Mereka merasa khawatir akan hatiku, juga merasa kasihan akan diriku yang terkesan digantungkan. Tapi aku memilih untuk tidak peduli. Sebuah cincin manis darimu sudah melingkar di jariku. Kamu sudah melamarku kala itu. Kamu pun sudah berjanji akan menikahiku. Oleh karena itu, hatiku masih tetap kekeuh untuk mempercayaimu. Aku masih yakin kamu akan kembali padaku.

Hingga 3 bulan kemudian, berarti terhitung 8 bulan sudah bertahan dalam hubungan yang kata teman-teman adalah hubungan yang menggantung, kamu kembali menghubungiku. Kamu ingin menemuiku saat ini juga. Aku beritahu kamu bahwa saat ini aku sedang berada di apartementku. Tidak lama kemudian, kamu akhirnya datang tepat pada pukul 03.00 dini hari. Ya, kamu mengunjungi apartementku kembali. Sebagaimana 8 bulan lalu, kamu masih sering mengunjungi.
Kemudian lantas saja aku membiarkanmu masuk. Tanpa basa-basi, kamu pun langsung memelukku erat sekali. Ah, bahagianya. Sudah lama sekali aku merindukan pelukan hangatmu. Di dadamu, aku menyesap aroma tubuhmu berkali-kali. Tapi sebentar, sebentar, ada aroma yang mengganjal. Semacam aroma alkohol yang menyengat. Lalu tanpa basa-basi, kamu mengarahkan bibirmu ke bibirku. Tapi aku menghindar. Aku melihat sesuatu yang berbeda padamu. Ini lebih dari aroma alkohol dari jenis minuman keras apapun atau terkaan-terkaan habis pergi kemana dirimu sebelumnya. Aku melihat sesuatu yang lain, seperti menjelaskan bahwa kamu bukan hanya habis meminum minuman keras di sebuah club malam, bar and kitchen, ataupun sekadar house party. Aku semacam melihat kecurangan. Aku melihat sosok perempuan lain. Aku melihat bekas bibir lain di bibir manismu.

Ya, begitulah yang ku lihat dan yang ku rasa. Lalu firasatku semacam langsung menyetujuinya. Sehingga membuatku yakin bahwa apa yang aku lihat tersebut tidaklah salah.

Mungkin ini aneh bagimu. Tapi tidak bagiku. Kamu pernah dengar mengenai mitos yang mengatakan bahwa akan selalu ada yang tertinggal dari sebuah kecupan? Ada yang bilang rupanya bisa seperti bekas sesuatu yang mengelupas yang berbentuk garis-garis vertikal. Ada juga yang bilang rupanya adalah bibir yang tidak lagi tampak segar, semacam pucat atau kusam. Kamu pasti tidak akan mempercayainya. Kamu sangat menganut pada logika dan peradaban modern dimana semua sudah bisa dijelaskan secara ilmiah dan menggunakan akal serta logika. Kamu tidak pernah mempercayainya. Aku pun tidak percaya. Aku setuju padamu, juga pendapatmu tentang peradaban modern itu. Tapi pada dini hari ini, mengapa aku melihat sesuatu di bibirmu? Apakah aku mempercayai mitos? Mungkin saja mitos juga mengatakan bahwa kecupan bisa meninggalkan bekas sebuah bibir. Tapi aku sudah hidup di jaman modern. Semuanya bisa dijelaskan dengan penalaran, bukan? Tapi mengapa aku tetap melihat seorang perempuan lain? Terlebih lagi, firasat pun menyetujuinya. Seakan membuatnya semakin jelas terlihat. Tapi mengapa aku harus melihatnya? Apa yang telah terjadi, sayang? 

Kamu terus meliuk-liuk berusaha menggodaku untuk menerima kecupanmu dengan kondisi yang kurang sadarkan diri, juga tanganmu yang terus menerus mengelus lembut kepalaku. Sementara aku berusaha menahan tubuhmu agar tidak terjatuh.

Dengan langkah terseok-seok, aku berusaha membaringkanmu di atas tempat tidurku. Selepas itu, aku berpindah ke kamar sofa di ruang tamu untuk beristirahat. Ketika kamu masih berusaha untuk mengecup bibirku, aku tetap bersikeras menolaknya. Tidak, sayang. Tidak untuk malam ini. Tidak juga untuk malam-malam berikutnya. Sebab aku melihat bekas bibir lain di bibir manismu, hatiku seketika tersayat-sayat tidak menentu. Meski hal tersebut belum tentu. Tapi firasatku terus menerus meyakinkanku.

Aku taruh tas kecil dan ponsel pintarmu di atas meja sebelah tempat tidurku. Kemudian ponsel pintarmu bergetar menunjukkan ada pesan masuk dari kontak dengan nama Fira.
“Thank you for tonight.” Katanya disertai dengan simbol love setelahnya.

Ah, sial. Ponsel pintarmu kamu amankan dengan pin. Aku jadi tidak bisa membuka pesan itu. Lantas saja aku bertanya-tanya. Siapa Fira? Apa yang telah kamu lakukan malam ini? Apa yang telah kamu lakukan bersama Fira?

Di atas sofa seorang diri, mataku tidak lantas terpejam. Aku masih memikirkannya. Aku masih memikirkan apa yang ku lihat disana. Bekas bibir dan nama Fira. Apa yang telah terjadi? Apakah kamu berniat untuk selingkuh? Siapa Fira? Selingkuhanmu atau sekadar pelayan club? Tapi mengapa kamu lakukan ini semua? Katamu, kamu tidak akan bermain-main di belakangku. Lalu mengapa aku melihatnya? mengapa bukan hanya bekas bibirku yang ada disana? Mengapa harus ada bekas bibir lain juga?

Tapi sialnya, aku termasuk perempuan yang suka menghindari perdebatan demi keadaan yang tetap baik-baik saja. Aku terlalu takluk dengan segala tentangmu. Entah mengapa. Mungkin karena aku yang terlalu bodoh atau aku yang memang terlalu mencintaimu. Sehingga apapun yang kamu sampaikan padaku mengenai kegiatanmu, aku percaya saja.

Hingga mengenai pesan masuk dari Fira yang membuatku bertanya-tanya, aku memilih untuk tetap terdiam dan menerka-nerka sendiri. Tapi juga tetap berusaha untuk tidak menimbulkan prasangka buruk apapun.

Hingga kamu terbangun pada pagi harinya, aku tetap menyiapkan makanan kesukaanmu, membiarkanmu menikmati sarapanmu tanpa menyinggung sedikitpun mengenai pesan tersebut.
***

Hari demi hari berlalu. Kami kembali menjalin komunikasi dengan baik. Kami kembali saling mengirim pesan whatsapp satu sama lain. Kami saling bertukar kabar. Entah kabarmu adalah sekadar kabar burung atau memang kabar yang sebenarnya, aku kembali merasa bahagia. Aku seakan sudah memaafkan kesakitan yang kamu berikan saat itu. Aku selalu merasa tenang dan aman ketika berada di sampingmu.

Semuanya terasa baik-baik saja. Kamu selalu terasa menenangkan. Hingga pada malam hari, ketika aku baru saja selesai mengikuti seminar bisnis di auditoriumnya bersama temanku. Aku melihatmu di lobi hotel tepatnya di meja reservasi bersama perempuan lain lalu kamu dan dirinya berjalan menuju deretan kamar dengan tanganmu yang menggenggamnya erat. Aku pun mengikutimu hingga koridor deretan kamarnya. Kamu sempat menoleh ke belakang, merasa ada yang mengikuti. Aku bersembunyi di balik pembatas pintu antar kamar. Aku mengintipmu di sana. Kamu mengecup bibir perempuan itu. Aku melihatmu mengecupnya lekat sekali di depan kedua mataku sendiri. Kemudian kamu memasuki salah satu kamar bersama perempuan itu.

Seketika aku mematung dibuatnya. Percaya dan tidak percaya bahwa kamu semudah itu melakukannya. Kamu mudah sekali mengkhianati perasaan yang sudah melekat 4 tahun lamanya. Entah kata apa lagi yang menggambarkan perasaanku kali ini. Yang jelas, yang terjadi hanyalah kekacauan yang tidak menentu. Di sepanjang perjalanan pulang, aku menangis sejadi-jadinya dalam mobilku yang dikendarai oleh temanku. Tapi meski demikian, aku tidak berani menegurmu. Aku meyakinkan diri, semuanya akan baik-baik saja.

Sayang, aku telah mempercayaimu. Aku telah memegang janjimu untuk kita menjadi sehidup semati. Aku yakin itu. Tapi mengapa harus ada bekas bibir lain di bibir manismu? Mengapa kemudian kamu benar-benar membenarkan dugaanku? Mengapa kamu mengecupnya? Mengapa kamu mengecup perempuan lain? Dan asal kamu tahu, setelah melihatmu malam itu, hatiku tercabik-cabik bagaikan ada beberapa utas tali tambang yang digulung kemudian menyabet-nyabet. Tidak, sayang. Ini lebih dari itu. Bahkan lebih dari sayatan pisau tajam di dapur. Ini lebih dari palu gada yang dpukul-pukulkan ke bebatuan besar hingga remuk tidak lagi terbentuk. Tapi kamu tidak perlu mengetahuinya. Toh, kamu tidak akan peduli ketika kamu sendiri masih menyalahartikan kesetiaan. Kesetiaan yang kamu artikan dengan memiliki tapi tanpa selalu memeluknya. Kamu tetap menganggap pasanganmu adalah milikmu, tapi kamu tetap bermain kemana-mana. Kamu seakan menganggap, yang penting pada akhirnya kamu akan bersama pasanganmu yang sesungguhnya. Kesetiaan tidak boleh seperti itu, sayang. Kesetiaan pun sangat sakral penempatannya bagi sepasang kekasih. Apalagi telah menyematkan janji untuk sehidup semati. Meski setia tidak bisa direncanakan, tapi setia pun harus dijaga. Kamu tahu kan, cara untuk menjaganya?

Meski kamu telah melingkarkan cincin di jari manisku, kamu telah melukainya, sayang. Kamu telah melukai betapa sakralnya arti dari cincin tersebut. Ya, cincin yang telah kamu lingkarkan setahun yang lalu. Kamu melukai segalanya, juga cinta yang sudah tersematkan sejak 4 tahun yang lalu saat kita baru saja memasuki dunia perkuliahan. Sungguh tidak bisa dipercaya, yang selama ku kira kamu baik-baik saja, kamu adalah sosok lelaki yang setia dan bertanggungjawab atas segalanya termasuk setiap janji yang terucap, kamu dengan teganya melakukan hal tersebut. Teman-temanku berkata bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar apalagi untuk jaman sekarang yang sudah semakin marak perempuan penggoda baik yang bayaran maupun tidak. Meski terkesan bajingan, yang penting pada akhirnya akan sama pasangannya sendiri hingga ke dalam kehidupan pernikahan. Tapi tidak bagiku, sayang. Kecurangan tetaplah kecurangan. Tapi sayangnya hatiku tidak bisa membencimu begitu saja. Seakan sudah terpaut oleh perasaan yang begitu pekat. Lebih pekat dari secangkir kopi espresso hangat kesukaanmu yang sering kamu nikmati di coffeeshop langgananmu. Jangan tanyakan lagi soal ketulusannya. Sudah terlampau dalam, lebih dalam dari dari Palung Mariana. Seharusnya kamu pahami hal itu. Jika sudah begini adanya, aku hanya bisa pasrah pada Tuhan yang Maha Esa.

Dan teruntukmu, lelakiku, pujaanku, dengan segenap janji termanis yang telah terucapkan untuk sehidup semati, yang ku harap kelak menjadi imam terbaik, aku tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Biarpun kamu telah melukai, biarpun kamu telah menjadi apa yang teman-temanku sebut bajingan, aku tetap menjaganya. Menjagamu dalam segala harapan terbaik. Demi cincin manis yang telah melingkar, demi janji, demi perasaan yang telah mengikat kuat. Yang kelak, aku yakin, kita akan sampai pada singgahsana pelaminan yang mengantarkan seluruhnya ke dalam kehidupan pernikahan yang membahagiakan hingga hanya maut yang memisahkan.






No comments:

Post a Comment