Tuesday, April 19, 2016

Singkat saja, aku merindukanmu.


Lagi, fajar telah tampak. Jam telah menunjukkan pukul enam pagi. Aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk menghadapi kuliah pagi ini. Ini yang paling aku benci, hari dimana aku terasa seperti anak sekolah kembali yang harus siap pagi-pagi dan sudah duduk manis di ruangan kelas pada pukul tujuh pagi. Dan hanya hari ini. Sementara hari yang lain, aku cenderung santai masuk kuliah pada siang hari.
             
Aku melihatmu lagi, sama seperti hari-hari sebelumnya. Kamu juga masih sama seperti hari-hari sebelumnya, berada diantara teman-temanmu dan mengacuhkanku. Tidak ada sapaan manis sedikitpun yang terucap dari bibir kecil manismu. Ah, sudahlah. Aku pun menghampiri teman-temanku. Aku mencoba menghibur diri bersama mereka seolah tidak terjadi apa-apa dan seolah tidak ada amarah yang timbul di dalam hati karenanya. Hingga mata kuliah berlangsung, hingga mata kuliah diakhiri. Ya, kita selalu berada dalam satu kelas yang sama untuk beberapa mata kuliah. Aku menyadarinya, namun apakah kamu selalu tidak menyadarinya?

Begitupun dengan keesokan harinya. Terjadi lagi dan lagi setiap hari. Hingga aku hafal gerak-gerikmu dan aku hafal siapa saja yang akan kamu hampiri, bahkan hingga aku terbiasa kikuk untuk sekedar menyapamu. Namun lama-lama aku merindukanmu. Aku rindu akan segala waktumu untukku. Aku rindu waktu dimana hanya ada aku dan kamu saja. Namun kamu kerap kali tidak menggagasnya. Kamu terlalu menikmati duniamu sendiri. Waktumu seakan-akan hanya untuk teman-temanmu. Kamu jarang sekali menyisihkan waktumu untukku. Kamu begitu asyik memenuhi hobimu bersama teman-temanmu. Hingga aku tidak berani mengusikmu. Meski beberapa orang terdekat mengatakan, “kenapa kamu ga ikut aja? Ikut menikmati dunianya. Toh, hobimu sama hobinya tidak jauh berbeda. Toh, teman-temannya juga teman-temanmu.” Namun sekali lagi, aku tidak berani mengusikmu. Sebagaimana permintaanmu yang kerap kali kamu sampaikan untuk tetap menghargai teman-teman, menghargai waktu teman-teman, baik teman-temanku maupun teman-temanmu. Sebagaimana permintaan keduamu untuk tidak mengumbarkan tentang kita berdua. Aku pun mencoba memahami dan menurutimu. Sebab, ada benarnya juga. Biar bagaimanapun, teman-teman harus tetap menjadi prioritas utama. Keutuhan hubungan dengan teman-teman harus tetap terjaga. Aku pun tidak ingin hubungan pertemananku retak hanya karena suatu perasaan. Namun tahukah kamu? Aku kerap kali cemburu. Aku cemburu dengan teman-temanmu yang lebih mudah menyita waktumu.
            
Terkadang aku berfikir, apakah aku harus menjadi temanmu saja? Namun sepertinya kamu tidak selera untuk memiliki teman wanita. Bahkan kepada teman-teman wanitamu sendiri saja, kamu bersikap acuh tak acuh. Hingga mereka menganggapmu sebagai pria yang kaku dan apatis.
             
Hingga aku bertanya kepada salah satu teman terdekatmu mengenai alasannya. Ia hanya menjawab bahwa kamu memang acuh kepada wanita. Kamu sulit bersosialisasi dengan wanita. Hingga kamu cenderung tidak mempunyai teman dekat wanita. Ketika aku protes kepadamu, jawabanmu tidak jauh berbeda. Kamu pun menceritakan kepadaku bahwa dirimu bukanlah seorang pria yang romantis yang bisa setiap saat menanyakan sedang apa? Dimana? Atau buru-buru menelfon saat rindu. Sehingga tidak ada komunikasi jarak jauh yang aku terima darimu atau suatu dering telfon dan pesan masuk yang bisa menjadi kejutan setiap malam selayaknya hubungan pada umumnya. Suatu pesan masuk dalam chatroom sosial media darimu pun tidak akan ada kecuali aku memulainya terlebih dahulu. Ah, apa sih bedanya wanita dengan pria? Apakah wanita itu terlalu merepotkan sehingga kamu sulit untuk bersosialisasi? Bagiku, tidak ada yang berbeda untuk berteman dengan siapa saja, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis. Apakah hal tersebut memang sudah menjadi watakmu sejak dulu? Hey! Aku ini kekasihmu, kan? Kekasih yang kamu sayangi, kan? Kamu tidak seharusnya memberlakukan hal ini kepadaku. Tidakkah kamu mengerti terhadap esensi wanita yang hakikatnya selalu menggunakan perasaan dalam hal apapun? Apalagi jika sudah terjebak perasaan seperti ini. Lalu aku berfikir, apakah aku harus menjadi seorang pria untuk mendapatkan hak yang sama dengan teman-temanmu? Apakah aku harus menjadi seorang pria agar aku bisa mencuri waktumu setiap detik? Ah, seandainya saja aku adalah seorang pria.
            
Berlebihan, ya? Maaf.. Aku tidak bermaksud menyalahkan teman-temanmu. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Aku tidak bermaksud menyalahkan duniamu. Aku hanya ingin kamu mengerti. Sebagaimana seorang kekasih dan sebagaimana seorang wanita, aku juga ingin dimengerti bahwa aku menginginkan waktumu yang jarang sekali kamu sisihkan untukku. Aku pun ingin dihargai selayaknya kamu menghargai teman-temanmu.
            
Terkadang aku ingin menegaskan hal ini kepadamu. Aku ingin menanyakan perasaanmu yang sesungguhnya sekali lagi. Aku ingin membicarakan segala keganjilaan ini agar tidak lagi menyesakkan dada. Namun aku takut semua berubah. Ada suatu rasa yang aku takutkan dari dirimu. Aku takut kehilanganmu. 

Dan aku melihat keacuhanmu lagi untuk kesekian kalinya. Aku sedang bersama teman terdekatku saat kamu melewatiku bersama teman-temanmu. Padahal aku menyapa semuanya, termasuk kamu. Semuanya meresponku ramah kecuali kamu. "Ih, hebat sandiwaranya biar ga bikin geger sekampus nie, hihi. Tapi parah tau.. yang lain yang cuman temen aja merespon kok dan ga sampe segitunya. Pacar macam apa itu?" ujar teman terdekatku mengomentari sikapmu.
            
Sandiwara? Ya, bisa jadi. Sebab, teman-teman kita tidak banyak yang mengetahui hubungan ini. Kita tidak pernah menunjukkan kemesraan di depan teman-teman kita. Kan kamu tidak ingin mengumbarnya. Aku hanya terdiam, tidak meresponnya.

Kedua kalinya, teman terdekatku yang lain mengomentarimu dengan ketus saat kamu hanya melewatiku, "Gila! Itu pacar lo atau pembantu sih? Cuek amat! Lo kok mau aja dicuekin kayak gitu?"

Speechless. Aku tidak berujar apa-apa terhadap apa yang telah dikatakannya. Hingga ia mengirimkan pesan bbm kepadamu, bukan? Ia mengomentari langsung sikapmu terhadapku yang tidak seharusnya kamu lakukan.
            
Nah loh.. Ada yang meragukanmu. Teman-temanku tidak percaya kepada ketulusanmu. Bahkan mereka meragukan hubungan ini. Mereka ragu akan keutuhan hubungan ini. Mereka menganggapku tidak bahagia dalam hubungan ini.
            
Iya, memang. Aku kerap kali merasa sedih menghadapimu, wahai kekasihku yang sepertinya lebih sayang terhadap teman-teman. Namun aku tetap menikmati irama yang kamu ciptakan dalam hubungan ini. Aku berusaha semampuku untuk memendam semuanya. Aku berusaha merasa seolah tak terjadi apa-apa. Meski ada kutipan yang mengatakan, “cinta itu terdapat keserasian dari kedua belah pihak. Apabila hanya sepihak, berarti dia tidak menyayangimu apalagi mencintaimu.” Namun entahlah! Mungkin aku terlalu terjebak dalam irama yang amat sangat bersahabatkan rindu. Atau mungkin aku terlalu terjebak dalam perasaanku yang seperti perasaannya Tere Liye yang tidak sesederhana 1+1=2.
              
Teruntuk kekasihku yang kerap mendiamiku, Aku merindukanmu. Dan hey! Negeri ini begitu indah! Kata orang, setiap sudutnya itu romantis! Mengapa tidak kita merasakannya berdua? Menjelajahi setiap sudut romantisnya itu. Aku rindu berkencan denganmu.  Sesungguhnya tidak hanya berdua pun tidak masalah. Kamu boleh mengajak mereka merasakannya. Asal ada aku dan kamu, aku tetap bahagia, yang penting aku mendapatkan waktu indahmu. Meskipun aku lebih bahagia apabila hanya ada aku dan kamu saja. Sebab, aku merindukanmu, kekasihku! Singkat saja, aku merindukanmu.