Saturday, March 30, 2019

Aku Rindu Tanganmu, Ayah!


Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau dengan sukarela meminjamkan tanganmu untuk menuntunku belajar mengendarai sepeda, aku butuh tanganmu untuk mengarungi hidup yang damai dan menenangkan. Dan saat aku terjatuh, kau katakan padaku, “Ini tidak apa-apa.”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau menggenggam tangan aku yang ketakutan saat hendak menyebrangi jalan raya, dan kau katakan padaku, “Yuk, jalan dengan hati-hati.”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengangkat tubuhku saat aku ketakutan untuk menaiki eskalator karena celah kecil sebelum tangga pertamanya, dan kau katakan padaku, “Ayo lewati saja biar cepat sampai di atas!”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengelus dengan lembut kepalaku saat aku mengadukan si kakak yang rese merebut barang kesukaanku, dan kau  katakan padaku, “Sudah, biarkan saja. Nanti diganti sama yang baru.”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengepalkan tanganmu dengan gagah di atas kepala saat aku kuwalahan mengerjakan PR matematika, dan kau katakan padaku, “Ayo lanjutkan lagi! Segala kesulitan pun pasti akan jadi menakjubkan."

Tapi Ayah, saat aku mulai tumbuh dewasa, kau katakan padaku bahwa ada saatnya tanganmu tidak bisa senantiasa dipinjamkan. Semakin tumbuh dewasa, ada saatnya aku harus mengarungi segala aspek kehidupan dengan mandiri, tanpa tanganmu lagi, melainkan dengan kedua tangan sendiri bahkan berdiri tegak di atas kedua kaki sendiri. Tapi tahukah kau, Ayah? Aspek kehidupan orang dewasa ternyata memiliki pelik yang begitu luas. Bukan hanya takut terjatuh dari sepeda, bukan hanya takut akan keramaian jalan raya, bukan hanya takut akan celah kecil eskalator, bukan hanya kakak yang rese, juga bukan hanya PR matematika yang sulit. Ini semua jauh lebih berat, membuatku sakit kepala, hingga kadang rasanya seperti terbunuh mati dalam peperangan. Aku rasa, aku lebih butuh tanganmu hingga kehangatan pelukmu. Peluk yang bukan sekadar peluk sebelum tidur yang diikuti dengan kentutmu serta tawa geli setelahnnya. Tapi kau katakan padaku, semakin tumbuh dewasa, aku harus menjelajahi dunia yang luas ini, berkenalan dengan banyak manusia, menciptakan banyak relasi, mengembangkan potensi, dan meraih segala mimpi.  Kau katakan padaku bahwa dunia bukan sekadar sepetak desa tempat tinggal. Tapi ayah, dunia yang luas yang kau katakan itu ternyata malah sering berputar-putar di kepala. Saking luasnya, aku sampai bingung mana yang benar dan mana yang salah. Aku sampai bingung kemana seharusnya aku melangkah. Ada banyak tanda panah di depanku. Dan saat aku memilih salah satunya, aku menemukan jalan yang terjal berbatu, naik turun, banyak tikungan tajam. Tak jarang membuatku tersandung bahkan jatuh ke jurang. Tapi kemudian kau katakan padaku untuk jangan menyerah dan tetap melanjutkan perjalanan. Mimpi tak memiliki jarak yang jauh bagi yang percaya akan kesungguhan. Tapi memang benar sih. Hidup tak akan terasa lebih hidup jika hanya membiarkannya mengalir begitu saja. Aku pun percaya tentang pepatah yang mengatakan kita akan menuai apa yang kita tanam. Tapi Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi untuk melewati semua ini?

Kemudian kau katakan padaku, “Kamu tidak usah khawatir. Kelak akan ada seseorang yang ikhlas sukarela meminjamkan tangannya kapanpun padamu.” Aku pun bertanya, “Siapa Ayah?” Kau menjawab, “Pasanganmu. Lelaki yang tulus menyayangimu. Dia akan selalu menemanimu dalam perjalanan apapun termasuk dalam perjalanan sulit sekalipun. Dia tidak hanya meminjamkan tangannya. Bahkan tangannya, seluruh tentangnya, seluruh hidupnya memang untukmu, memang milikmu. Ini berlaku untuk sehidup semati” Tapi Ayah, lelaki mana yang kau maksud? Mengapa yang ku temukan malah lelaki yang hanya meminjamkan tangannya untuk sesaat? Mengapa yang ku temukan hanyalah lelaki yang meminjamkan tangannya untuk waktu-waktu tertentu? Jadi tangan siapa yang kau maksud, Ayah? Sementara lelaki yang ku temukan adalah lelaki dengan tangan yang menggenggamku saat menonton film di bioskop atau saat berjalan-jalan di taman atau saat ia sedang mengendarai mobilnya atau seusai menyantap hidangan di restoran atau seusai menyantap hidangan di tempat yang hanya semacam warung makan mahasiswa. Lelaki yang ku temukan adalah lelaki dengan tangan yang merangkul pundakku di tempat umum untuk pamer kemesraan atau yang mengacak-acak rambutku atau yang memberikanku sekuntum mawar atau yang menuliskanku sajak-sajak pujangga atau yang sekadar mengelus lututku saat sedang berboncengan motor berhenti di lampu merah. Kemudian lelaki tersebut malah melakukan hal yang sama pada perempuan lainnya. Jadi tangan lelaki mana yang kau maksud, Ayah? Bagaimana untuk mengetahui ia benar-benar sayang atau tidak? Bagaimana untuk mempercayai bahwa tangannya memang untukku? Apakah ia yang menyatakan perasaannya lengkap dengan cincin mewah? Atau ia yang menyatakan perasaannya di sebuah kedai kopi? Atau ia yang menyatakan perasaannya hanya di pesan whatsapp? Atau justru ia yang tidak pernah menyatakan perasaannya tapi menawarkan komitmen bahkan berbagai janji termasuk janji untuk tidak pergi? Tapi setelahnya yang ada hanyalah teka-teki. Semuanya terasa bias. Hingga aku tidak bisa mengerti akan ketulusan. Aku sulit untuk mempercayai sebuah ketulusan suatu genggaman tangan yang melindungi. 

Kemudian kau bertanya padaku, "apa perlu Ayah carikan lelaki itu?" Tapi aku takut. Soalnya aku juga melihat teman-temanku yang sedang digenggam tapi mereka malah merasa terganggu dan kebebasanya terbelenggu. Kok malah begitu ya, Ayah?  Apakah seorang lelaki memang harus sebegitu erat menggenggam pasangannya? Apakah sebuah perlindungan harus sampai tega membatasi hak-hak dan meninggalkan teman-temannya? Apakah memang begitu hakikatnya sebuah genggaman? Tapi Ayah, aku ingin digenggam untuk dituntun bukan dituntut. Aku ingin digenggam untuk seiring bukan digiring.

Aku semakin bingung. Hingga kini aku merasa tak ada yang bisa mengalahkanmu. Aku merasa hanya dirimulah yang terbaik untukku. Aku merasa hanya tanganmu yang mampu melindungi. Aku butuh tanganmu, Ayah! Aku rindu tanganmu! Aku rindu akan dirimu!

Dan aku terjatuh lagi, Ayah. Aku terjatuh pada jurang yang dalam, tersesat, tidak mengerti harus kemana aku lanjutkan langkah. Tolong aku, Ayah! Jika memang belum ada tangan yang tulus selainmu, setidaknya aku ingin tanganmu menawarkan diri untuk mengajakku bangkit dan melangkah lagi.