Ayah,
boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau dengan sukarela
meminjamkan tanganmu untuk menuntunku belajar mengendarai sepeda, aku butuh
tanganmu untuk mengarungi hidup yang damai dan menenangkan. Dan saat aku
terjatuh, kau katakan padaku, “Ini tidak apa-apa.”
Ayah,
boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau menggenggam tangan aku
yang ketakutan saat hendak menyebrangi jalan raya, dan kau katakan padaku, “Yuk,
jalan dengan hati-hati.”
Ayah,
boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengangkat tubuhku saat
aku ketakutan untuk menaiki eskalator karena celah kecil sebelum tangga
pertamanya, dan kau katakan padaku, “Ayo lewati saja biar cepat sampai di atas!”
Ayah,
boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengelus dengan lembut
kepalaku saat aku mengadukan si kakak yang rese merebut barang kesukaanku, dan kau katakan padaku, “Sudah, biarkan saja. Nanti diganti
sama yang baru.”
Ayah,
boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengepalkan tanganmu
dengan gagah di atas kepala saat aku kuwalahan mengerjakan PR matematika, dan
kau katakan padaku, “Ayo lanjutkan lagi! Segala kesulitan pun pasti akan jadi
menakjubkan."
Tapi
Ayah, saat aku mulai tumbuh dewasa, kau katakan padaku bahwa ada saatnya
tanganmu tidak bisa senantiasa dipinjamkan. Semakin tumbuh dewasa, ada saatnya
aku harus mengarungi segala aspek kehidupan dengan mandiri, tanpa tanganmu
lagi, melainkan dengan kedua tangan sendiri bahkan berdiri tegak di atas kedua
kaki sendiri. Tapi tahukah kau, Ayah? Aspek kehidupan orang dewasa ternyata
memiliki pelik yang begitu luas. Bukan hanya takut terjatuh dari sepeda, bukan
hanya takut akan keramaian jalan raya, bukan hanya takut akan celah kecil
eskalator, bukan hanya kakak yang rese, juga bukan hanya PR matematika yang
sulit. Ini semua jauh lebih berat, membuatku sakit kepala, hingga kadang
rasanya seperti terbunuh mati dalam peperangan. Aku rasa, aku lebih butuh
tanganmu hingga kehangatan pelukmu. Peluk yang bukan sekadar peluk sebelum tidur
yang diikuti dengan kentutmu serta tawa geli setelahnnya. Tapi kau katakan
padaku, semakin tumbuh dewasa, aku harus menjelajahi dunia yang luas ini,
berkenalan dengan banyak manusia, menciptakan banyak relasi, mengembangkan
potensi, dan meraih segala mimpi. Kau katakan
padaku bahwa dunia bukan sekadar sepetak desa tempat tinggal. Tapi ayah, dunia
yang luas yang kau katakan itu ternyata malah sering berputar-putar di kepala. Saking
luasnya, aku sampai bingung mana yang benar dan mana yang salah. Aku sampai
bingung kemana seharusnya aku melangkah. Ada banyak tanda panah di depanku. Dan
saat aku memilih salah satunya, aku menemukan jalan yang terjal berbatu, naik
turun, banyak tikungan tajam. Tak jarang membuatku tersandung bahkan jatuh ke
jurang. Tapi kemudian kau katakan padaku untuk jangan menyerah dan tetap
melanjutkan perjalanan. Mimpi tak memiliki jarak yang jauh bagi yang percaya
akan kesungguhan. Tapi memang benar sih. Hidup tak akan terasa lebih hidup jika
hanya membiarkannya mengalir begitu saja. Aku pun percaya tentang pepatah yang
mengatakan kita akan menuai apa yang kita tanam. Tapi Ayah, boleh aku meminjam
tanganmu lagi untuk melewati semua ini?
Kemudian
kau katakan padaku, “Kamu tidak usah khawatir. Kelak akan ada seseorang yang ikhlas
sukarela meminjamkan tangannya kapanpun padamu.” Aku pun bertanya, “Siapa Ayah?”
Kau menjawab, “Pasanganmu. Lelaki yang tulus menyayangimu. Dia akan selalu
menemanimu dalam perjalanan apapun termasuk dalam perjalanan sulit sekalipun. Dia
tidak hanya meminjamkan tangannya. Bahkan tangannya, seluruh tentangnya,
seluruh hidupnya memang untukmu, memang milikmu. Ini berlaku untuk sehidup
semati” Tapi Ayah, lelaki mana yang kau maksud? Mengapa yang ku temukan malah
lelaki yang hanya meminjamkan tangannya untuk sesaat? Mengapa yang ku temukan
hanyalah lelaki yang meminjamkan tangannya untuk waktu-waktu tertentu? Jadi tangan
siapa yang kau maksud, Ayah? Sementara lelaki yang ku temukan adalah lelaki
dengan tangan yang menggenggamku saat menonton film di bioskop atau saat
berjalan-jalan di taman atau saat ia sedang mengendarai mobilnya atau seusai menyantap
hidangan di restoran atau seusai menyantap hidangan di tempat yang hanya
semacam warung makan mahasiswa. Lelaki yang ku temukan adalah lelaki dengan
tangan yang merangkul pundakku di tempat umum untuk pamer kemesraan atau yang
mengacak-acak rambutku atau yang memberikanku sekuntum mawar atau yang menuliskanku sajak-sajak pujangga atau yang sekadar mengelus lututku saat sedang berboncengan
motor berhenti di lampu merah. Kemudian lelaki tersebut malah melakukan hal
yang sama pada perempuan lainnya. Jadi tangan lelaki mana yang kau maksud, Ayah?
Bagaimana untuk mengetahui ia benar-benar sayang atau tidak? Bagaimana untuk
mempercayai bahwa tangannya memang untukku? Apakah ia yang menyatakan perasaannya
lengkap dengan cincin mewah? Atau ia yang menyatakan perasaannya
di sebuah kedai kopi? Atau ia yang menyatakan perasaannya hanya di pesan whatsapp? Atau
justru ia yang tidak pernah menyatakan perasaannya tapi menawarkan komitmen
bahkan berbagai janji termasuk janji untuk tidak pergi? Tapi setelahnya yang
ada hanyalah teka-teki. Semuanya terasa bias. Hingga aku tidak bisa mengerti
akan ketulusan. Aku sulit untuk mempercayai sebuah ketulusan suatu genggaman
tangan yang melindungi.
Kemudian kau bertanya padaku, "apa perlu Ayah carikan lelaki itu?" Tapi aku takut. Soalnya aku juga melihat teman-temanku yang sedang digenggam tapi mereka malah merasa terganggu dan kebebasanya terbelenggu. Kok malah begitu ya, Ayah? Apakah seorang lelaki memang harus sebegitu erat menggenggam pasangannya? Apakah sebuah perlindungan harus sampai tega membatasi hak-hak dan meninggalkan teman-temannya? Apakah memang begitu hakikatnya sebuah genggaman? Tapi Ayah, aku ingin digenggam untuk dituntun bukan dituntut. Aku ingin digenggam untuk seiring bukan digiring.
Aku semakin bingung. Hingga kini aku merasa tak ada yang bisa mengalahkanmu. Aku merasa hanya dirimulah yang terbaik untukku. Aku merasa hanya tanganmu yang mampu melindungi. Aku butuh tanganmu, Ayah! Aku rindu tanganmu! Aku rindu akan dirimu!
Aku semakin bingung. Hingga kini aku merasa tak ada yang bisa mengalahkanmu. Aku merasa hanya dirimulah yang terbaik untukku. Aku merasa hanya tanganmu yang mampu melindungi. Aku butuh tanganmu, Ayah! Aku rindu tanganmu! Aku rindu akan dirimu!
Dan
aku terjatuh lagi, Ayah. Aku terjatuh pada jurang yang dalam, tersesat, tidak
mengerti harus kemana aku lanjutkan langkah. Tolong aku, Ayah! Jika memang
belum ada tangan yang tulus selainmu, setidaknya aku ingin tanganmu menawarkan
diri untuk mengajakku bangkit dan melangkah lagi.