Wednesday, November 20, 2019

ONE LAST KISS

Seusai bersolek dengan makeup yang dirasa sudah pas, aku menghembuskan nafas lumayan panjang. Di depan cermin, aku memeriksa kembali. Takut-takut ada yang salah dengan rona makeupku. Aku tidak ingin dibuat salah tingkah olehnya ketika sudah berhadapan denganmu. Nah kan, lipsticknya masih terlihat pucat. Aku pulas lagi dengan warna yang lebih cerah. Sampai sudah terasa cocok, kamu pun menelfonku, memberitahuku bahwa kamu sudah tiba di depan kost-ku. Bersama motor kesayanganmu, kamu tampak rupawan sekali malam ini. Rapi, wangi dan berseri. Rambutmu tampak sedikit berantakan dan dibiarkan tergerai hingga menutupi separuh dahimu. 

“udah siap?” tanyamu.

“udah.” Jawabku dengan tatapan yang masih terperangah padamu.

Kamu pun langsung melajukan motormu kencang sekali bersama aku yang duduk di belakangmu sambil memelukmu erat-erat saking takutnya. Takut tapi nyaman. Bagaimana tidak nyaman? Aroma tubuh yang menyeruak dari punggungmu harum sekali untuk ku sesap berkali-kali. 

Kamu membawaku ke tempat yang paling menenangkan. Meski angin terus merengkuh dengan dinginnya malam, kamu tetap paling bisa menghangatkan, dan gemerlap lampu kota semakin menyempurnakan suasana. Bersama dua cangkir kopi hangat yang sudah di hadapan, Kita mulai bercerita. Menceritakan segala hal, bercanda ria hingga memecahkan segalanya.

“Jalan kesana yuk, ke atas sana, nikmatin pemandangan.” Ajakmu kemudian dengan jari yang menunjuk ke atas bukit setelah kopi masing-masing telah habis tanpa sisa.

Aku mengangguk saja, mengiyakan kamu tanpa banyak bertanya. Aku memang suka sekali dengan kedai kopi ini. Lokasinya yang tidak begitu jauh dengan bukit, membuatku selalu ingin melanjutkannya dengan bersantai di atasnya. 

Dan setelah melewati tanjakan yang lumayan terjal, kita pun sampai di atas bukit dengan gemerlap lampu kota yang tampak cantik menghiasi. Kami duduk berdampingan dengan kakimu yang diselonjorkan, sedang aku hanya duduk bersila. Aku menghembuskan nafas sejenak. Rasanya rileks sekali.

“Lia?” Panggilmu tiba-tiba.

“Iya.”  Jawabku. 

Kamu mendekatkan kepala di hadapanku. Tepat sekali benar-benar di hadapanku. Aku yang seketika mematung dengan berantakannya detak jantung, membiarkan matamu menatapku lekat tepat sekali berhadapan dengan kedua bola mataku. Kamu mengelus rambutku dengan lembut, dan tak lama kemudian, kamu mengaitkan bibirmu dengan bibirku. Kedua bibir pun saling berkaitan, saling merengkuh satu sama lain. Seketika aku merasa gugup.

“Aku sayang sama kamu.” Potongmu tiba-tiba.

Aku tersentak, tidak percaya. Apakah mimpiku akan menjadi nyata? Setelah sekian lama sekitar tiga tahun memendam perasaan, sama sekali tidak pernah berani untuk aku ungkapkan. Seketika lidahku kelu, gugup untuk menangggapinya.

“Aku serius.” Lanjutmu. “Tapi..” Aku mengaitkan kembali bibirku dengan bibirmu, membiarkan semuanya semakin terhanyut dalam suasana. Entah mengapa.

Dan seketika aku suka ranum bibirmu. Ketika ia menyatu dengan ranum bibirku, terombang-ambing oleh deras arusnya, dilipat rapi oleh gemerlap lampu kota di bawahnya serta taburan bintang yang menemani bulan yang setia menghiasi langit luas, ditutup oleh sentuhan lembut dan pelukan yang menghangatkan angin malam yang semakin terasa dingin tiada henti membelai sekujur tubuh. Segala kenyamanan menyatu, mendamaikan kalbu, memanjakan semuanya. Membuat diri ini tenggelam dalam samudera yang sedalam-dalamnya.

Namun tiba-tiba kamu melepasnya dan berkata, “tapi aku ngga ngerti harus gimana.”

“Ngga ngerti? Maksudmu?” Tanyaku heran.

“Ya ngga ngerti aja and I can’t stand for this one.”

“Maksudmu gimana sih? Aku ngga ngerti.”

Kamu hanya terdiam. Kamu terdiam lama sekali tidak lagi bersuara.

Hingga lantas saja aku memberanikan diri untuk mengungkapkan, “lalu bagaimana jika aku juga menyayangimu?”

“Jangan!” Jawabmu.

“Loh kok jangan?”

“Ngga usah.”

Aku mengernyitkan dahi.

“I’m gonna go.” Lanjutmu. “Lagian setelah lulus kamu akan pulang, kan? Sama, aku juga. Jadi aku rasa, all just would be hopeless.”

“Nothing would be hopeless.” Jawabku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Hingga tanpa terasa air mata menetes di kedua pipiku. Sial, mengapa rasanya jadi sedih begini?

Sementara kamu hanya diam tidak menjawab apapun.

Aku pun kembali memelukmu erat.”Tapi aku sayang kamu.”

Kamu masih terdiam, hingga kamu pun menjawab, “Iya, aku juga. But I can’t. I’m so sorry.”

“Aku sayang kamu.” Aku masih memelukmu dan semakin erat memelukmu. Air mata mulai mengalir di dadanya. “Kamu jangan pergi.” lanjutku.  

Kamu pun balas memelukku erat sekali dan mengelus rambutku, mengecup serta menyesap kepalaku.
Dan kemudian aku tidak bisa berkata apapun lagi. Semuanya jadi terasa haru dan malam seketika terasa begitu kelabu.

Malam ini sungguh terasa diluar dugaan. Bukan hanya kamu yang tiba-tiba menciumku dengan manis dan mengungkapkan kata sayang, namun juga diriku yang tiba-tiba mampu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Tapi mengapa kamu berkata, “aku sayang kamu.” saat tiba waktunya kamu hendak pergi? Sedangkan aku inginnya kamu tidak akan pernah pergi. Aku pun sudah mengungkapkan pinta itu. Apakah kamu akan mewujudkannya? Atau justru mematahkannya dengan benar-benar pergi meninggalkanku?

Hingga tiba saatnya kamu memperoleh hari bahagia, atas suatu target yang telah kamu usahakan, atas salah satu pencapaian yang sering kamu ceritakan. Senyummu pasti merekah manis sekali di sana, tatkala namamu yang begitu cantik itu disebut dengan lantang untuk memindahkan tali dari kiri ke kanan. Maaf, aku tidak bisa hadir menyambut salah satu alasan senyum manismu. Aku rasa, segala hal sudah aku ungkapkan pada malam itu. Hatimu pasti sedang berbunga sekali. Aku juga sedang berbunga. Hanya saja hujan mulai sering menyirami pelupuk mata. Aku takut ia mengalir begitu saja, teringat akan hari esok yang bisa menjadi hari kepergianmu dariku. Tentu saja, aku takut merusak kesempurnaan hari bahagiamu. Selamat ya! Aku turut berbahagia, dan segala doa-doa baik kan senantiasa ku panjatkan untukmu.

Ah entahlah! Aku jadi tidak bisa berkehendak atas pintaku tersebut. Aku tidak bisa memakasakan kamu untuk mewujudkan pintaku bahkan kalaupun keputusanmu adalah tetap pergi. Aku pun memutuskan untuk berjanji kepada diriku sendiri, juga kepada dirimu bahwa aku tidak akan meminta apapun lagi. Termasuk pinta, “kamu jangan pergi.”

Dan benar saja, beberapa hari setelahnya, kamu tidak pernah ada kabar apapun lagi. bahkan ucapan ‘selamat!’ yang aku kirimkan melalui pesan whatsapp tidak kunjung kamu balas hingga detik ini.
Aku menghembuskan nafas panjang berkali-kali. Entahlah, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Hal ini juga rasanya seperti mimpi paling buruk sepanjang hidupku. Rasanya sampai menyesakkan dada, membuatku hanya termenung mematung di pojokan kamar sambil meneteskan bulir-bulir air mata. Haruskah aku sampai merasakan kehilanganmu?

Sialnya aku tidak punya sebotol anggur untuk merayakannya. Merayakan cerita yang telah usai, patah hati yang terasa perih sekali, serta rasa yang tidak ingin lagi kamu semai. Ah, seandainya aku punya sebotol saja serta dirimu duduk di sampingku, aku lebih memilih untuk bersulang saja semalaman sampai tidak sadar terlelap dalam pelukan daripada merasakan hati yang patah sepatah-patahnya.

Tapi tidak apa, mereka berkata bahwa menyayangi itu bukan tentang balasan. Menyayangi adalah urusan hati yang di dalamnya terdapat ketulusan. Ego tidak berhak ikut campur.

Sejak saat itu, aku putuskan untuk menyayangimu dalam diam. Biarkan ia berproses dengan sendirinya sebagaimana segala perasaan termasuk rasa sayang memang selalu datang secara alamiah. Biarkan semesta yang bekerja. Ia lebih tahu ketimbang manusia yang menentukan. Hasilnya tentu akan jauh lebih baik dan bijaksana. Aku pun memutuskan untuk menyembuhkan luka dengan caraku sendiri. Terima kasih, ya. Terima kasih untuk semuanya, juga untuk perpisahan yang lukanya terasa begitu perih menyayat hati.

Meski sedih dan entah sampai kapan, sekali lagi, aku ucapkan selamat! Selamat atas pencapaianmu. Selamat atas kebahagiaanmu. Selamat atas hari-hari selanjutnya yang tidak lagi bersamaku. Dari kejauhan sini aku masih bisa memelukmu erat-erat dan menyesap aroma tubuhmu lekat-lekat. Dan apabila suatu hari nanti kamu jatuh hati lagi, semoga kamu dapat menjatuhkannya dengan baik. Kamu menyayanginya dengan baik. Begitupun sebaliknya. Aku harap ia dapat menyayangimu dengan baik sebagaimana aku menyayangimu dan akan senantiasa menyayangimu. Semoga senantiasa berbahagia. Aku? Nanti-nanti saja. Kelak, aku juga akan bahagia meski tidak lagi bersamamu. Meski entah akan seberapa panjang prosesnya dan seberapa lama waktunya.

Thursday, July 18, 2019

CLOSER

Malam semakin melarut. Tapi kita masih saja berkutat dengan tugas-tugas. Ya, tugas-tugas menyebalkan yang harus kita kumpulkan esok pagi.
"Hey!" Ujarmu tiba-tiba.
"Hmmm." Jawabku singkat sambil sibuk mengetik.
"Nengok sini dulu dong."
"Apaan?" Aku pun menengok ke arahmu.
"Can I get one?"
"Apanya?" Tanyaku heran.
Tiba-tiba kamu menghadapkan wajahmu di depanku dekat-dekat. Kamu tatap aku lekat-lekat.
"Kenapa sih? Ada yang salah sama mukaku?" Aku semakin heran.
Kamu semakin mendekatkan wajahmu. Bukan, bukan hanya wajahmu. Tapi ranum bibirmu. Kamu berusaha melekatkannya dengan ranum bibirku sembari mengelusku lembut sekali.
"Why'd u do this?" Tanyaku dengan serius. Tiba-tiba teringat beberapa waktu yang lalu ketika kamu seakan-akan memintaku untuk menjadi kekasihmu tapi aku masih ragu. "What do you want for us?"
"I want to get closer with you. I want you." Jawabmu lirih.
Aku seketika terdiam, seperti ada yang meluruh dalam kalbu. Entah apa itu aku tidak begitu mengerti. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Ku tatap kembali matamu lekat-lekat. Matamu tiba-tiba meneduhkan. Dan sialnya, kamu semakin melekatkannya dengan lembut, mengelusku dengan tenang. Terombang-ambinglah aku dalam arusnya, tenggelamlah aku dalam samuderanya. Rasanya mengesankan sekali.



Sunday, May 5, 2019

Tapi Mengapa Harus Ada Bekas Bibir Lain di Bibir Manismu?


Sesungguhnya bagaimana sih hakikatnya menjalin sebuah hubungan? Apakah cukup dengan berjanji untuk tidak pergi? Katanya, hubungan dan cinta perlu adanya kesetiaan. Lantas bagaimana hakikatnya kesetiaan? Apakah cukup dengan tetap menjadi milik tapi tidak selalu memeluk? Kemudian ketiadaannya, apapun dijadikan alasan termasuk kesibukan sehari-hari. Mulai dari banyak tugas dari dosen, banyak deadline dari atasan, rapat, diskusi, kepanitiaan acara, dan lain sebagainya. Hingga mengurangi frekuensi pertemuan. Hingga menyisakan rindu yang seringkali menyesakkan kalbu. 
 
Hingga malam sudah selarut ini, aku masih terjaga. Mataku masih terisak disiksa oleh sesak rinduku padamu yang terus menggebu. Segala tentangmu terus menerus berlarian di kepala. Rindu ini membuatku gelisah, sayang. Sementara kamu tidak kunjung datang ataupun menghubungi. Mengirimiku pesan whatsapp saja untuk sekadar menanyakan kabar pun tidak. Aku pun sudah berkali-kali memulai duluan. Hingga tanganku bosan untuk mengetiknya untukmu. Bukan bosan, lebih tepatnya enggan karena pada akhirnya berujung pada keacuhan. Ada apa, sayang? Katakanlah! Apabila ada yang kurang sesuai bagimu akhir-akhir ini, beritahu saja. Tegur aku untuk segala keteledoran. Tapi kamu tidak kunjung berkata apapun. Aku sampai bingung harus bagaimana untuk mengatakan atau sekadar menyapamu. Air ,mataku semakin pecah di atas boneka pemberianmu saat hari ulangtahunku. Sebab aku sembari memeluknya. Setidaknya untuk sedikit terasa seperti memelukmu. Tapi nyatanya tidak cukup untuk mengobati rasa rindu. Aku masih saja dirundung resah dan gelisah. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Mendengarkan lagu-lagu kesukaan dan menonton film komedi. Sesekali memakan beberapa batang cokelat. Tidak peduli meski sudah larut malam. Aku tidak takut memiliki tubuh yang gemuk. Aku lebih takut akan dirimu, sayang. Aku takut kehilanganmu. Aku berusaha memejamkan mata. Tapi yang terjadi hanya berguling-gulingan kesana kemari mengelilingi tempat tidur. Aaaaaaargh! Ingin rasanya ku teriak saja. Berharap rasa khawatir, resah, dan gelisah sampai kepadamu. Aku ingin kamu hadir saat ini juga. Setidaknya untuk malam ini. Aku sungguh merindukanmu.

Mengapa kamu tidak kunjung datang menemuiku? Kamu kemana? Terakhir kamu katakan padaku bahwa kamu memiliki banyak tugas dan acara. Setelah semuanya selesai, kamu akan kembali padaku. Aku percaya saja. Aku percaya ketika kamu mengatakan semua demi kebaikan kita. Semoga kamu akan kembali setelah semua semua tugasmu selesai. 

Hingga berbulan-bulan lamanya, terhitung sudah mencapai 5 bulan tanpa komunikasi dan tanpa kepastian, aku masih menunggumu. Beberapa teman menyarankanku untuk menyudahi saja. Sebab tanpa kabar menimbulkan kecurigaan akan apapun termasuk kesetiaanmu. Mereka merasa khawatir akan hatiku, juga merasa kasihan akan diriku yang terkesan digantungkan. Tapi aku memilih untuk tidak peduli. Sebuah cincin manis darimu sudah melingkar di jariku. Kamu sudah melamarku kala itu. Kamu pun sudah berjanji akan menikahiku. Oleh karena itu, hatiku masih tetap kekeuh untuk mempercayaimu. Aku masih yakin kamu akan kembali padaku.

Hingga 3 bulan kemudian, berarti terhitung 8 bulan sudah bertahan dalam hubungan yang kata teman-teman adalah hubungan yang menggantung, kamu kembali menghubungiku. Kamu ingin menemuiku saat ini juga. Aku beritahu kamu bahwa saat ini aku sedang berada di apartementku. Tidak lama kemudian, kamu akhirnya datang tepat pada pukul 03.00 dini hari. Ya, kamu mengunjungi apartementku kembali. Sebagaimana 8 bulan lalu, kamu masih sering mengunjungi.
Kemudian lantas saja aku membiarkanmu masuk. Tanpa basa-basi, kamu pun langsung memelukku erat sekali. Ah, bahagianya. Sudah lama sekali aku merindukan pelukan hangatmu. Di dadamu, aku menyesap aroma tubuhmu berkali-kali. Tapi sebentar, sebentar, ada aroma yang mengganjal. Semacam aroma alkohol yang menyengat. Lalu tanpa basa-basi, kamu mengarahkan bibirmu ke bibirku. Tapi aku menghindar. Aku melihat sesuatu yang berbeda padamu. Ini lebih dari aroma alkohol dari jenis minuman keras apapun atau terkaan-terkaan habis pergi kemana dirimu sebelumnya. Aku melihat sesuatu yang lain, seperti menjelaskan bahwa kamu bukan hanya habis meminum minuman keras di sebuah club malam, bar and kitchen, ataupun sekadar house party. Aku semacam melihat kecurangan. Aku melihat sosok perempuan lain. Aku melihat bekas bibir lain di bibir manismu.

Ya, begitulah yang ku lihat dan yang ku rasa. Lalu firasatku semacam langsung menyetujuinya. Sehingga membuatku yakin bahwa apa yang aku lihat tersebut tidaklah salah.

Mungkin ini aneh bagimu. Tapi tidak bagiku. Kamu pernah dengar mengenai mitos yang mengatakan bahwa akan selalu ada yang tertinggal dari sebuah kecupan? Ada yang bilang rupanya bisa seperti bekas sesuatu yang mengelupas yang berbentuk garis-garis vertikal. Ada juga yang bilang rupanya adalah bibir yang tidak lagi tampak segar, semacam pucat atau kusam. Kamu pasti tidak akan mempercayainya. Kamu sangat menganut pada logika dan peradaban modern dimana semua sudah bisa dijelaskan secara ilmiah dan menggunakan akal serta logika. Kamu tidak pernah mempercayainya. Aku pun tidak percaya. Aku setuju padamu, juga pendapatmu tentang peradaban modern itu. Tapi pada dini hari ini, mengapa aku melihat sesuatu di bibirmu? Apakah aku mempercayai mitos? Mungkin saja mitos juga mengatakan bahwa kecupan bisa meninggalkan bekas sebuah bibir. Tapi aku sudah hidup di jaman modern. Semuanya bisa dijelaskan dengan penalaran, bukan? Tapi mengapa aku tetap melihat seorang perempuan lain? Terlebih lagi, firasat pun menyetujuinya. Seakan membuatnya semakin jelas terlihat. Tapi mengapa aku harus melihatnya? Apa yang telah terjadi, sayang? 

Kamu terus meliuk-liuk berusaha menggodaku untuk menerima kecupanmu dengan kondisi yang kurang sadarkan diri, juga tanganmu yang terus menerus mengelus lembut kepalaku. Sementara aku berusaha menahan tubuhmu agar tidak terjatuh.

Dengan langkah terseok-seok, aku berusaha membaringkanmu di atas tempat tidurku. Selepas itu, aku berpindah ke kamar sofa di ruang tamu untuk beristirahat. Ketika kamu masih berusaha untuk mengecup bibirku, aku tetap bersikeras menolaknya. Tidak, sayang. Tidak untuk malam ini. Tidak juga untuk malam-malam berikutnya. Sebab aku melihat bekas bibir lain di bibir manismu, hatiku seketika tersayat-sayat tidak menentu. Meski hal tersebut belum tentu. Tapi firasatku terus menerus meyakinkanku.

Aku taruh tas kecil dan ponsel pintarmu di atas meja sebelah tempat tidurku. Kemudian ponsel pintarmu bergetar menunjukkan ada pesan masuk dari kontak dengan nama Fira.
“Thank you for tonight.” Katanya disertai dengan simbol love setelahnya.

Ah, sial. Ponsel pintarmu kamu amankan dengan pin. Aku jadi tidak bisa membuka pesan itu. Lantas saja aku bertanya-tanya. Siapa Fira? Apa yang telah kamu lakukan malam ini? Apa yang telah kamu lakukan bersama Fira?

Di atas sofa seorang diri, mataku tidak lantas terpejam. Aku masih memikirkannya. Aku masih memikirkan apa yang ku lihat disana. Bekas bibir dan nama Fira. Apa yang telah terjadi? Apakah kamu berniat untuk selingkuh? Siapa Fira? Selingkuhanmu atau sekadar pelayan club? Tapi mengapa kamu lakukan ini semua? Katamu, kamu tidak akan bermain-main di belakangku. Lalu mengapa aku melihatnya? mengapa bukan hanya bekas bibirku yang ada disana? Mengapa harus ada bekas bibir lain juga?

Tapi sialnya, aku termasuk perempuan yang suka menghindari perdebatan demi keadaan yang tetap baik-baik saja. Aku terlalu takluk dengan segala tentangmu. Entah mengapa. Mungkin karena aku yang terlalu bodoh atau aku yang memang terlalu mencintaimu. Sehingga apapun yang kamu sampaikan padaku mengenai kegiatanmu, aku percaya saja.

Hingga mengenai pesan masuk dari Fira yang membuatku bertanya-tanya, aku memilih untuk tetap terdiam dan menerka-nerka sendiri. Tapi juga tetap berusaha untuk tidak menimbulkan prasangka buruk apapun.

Hingga kamu terbangun pada pagi harinya, aku tetap menyiapkan makanan kesukaanmu, membiarkanmu menikmati sarapanmu tanpa menyinggung sedikitpun mengenai pesan tersebut.
***

Hari demi hari berlalu. Kami kembali menjalin komunikasi dengan baik. Kami kembali saling mengirim pesan whatsapp satu sama lain. Kami saling bertukar kabar. Entah kabarmu adalah sekadar kabar burung atau memang kabar yang sebenarnya, aku kembali merasa bahagia. Aku seakan sudah memaafkan kesakitan yang kamu berikan saat itu. Aku selalu merasa tenang dan aman ketika berada di sampingmu.

Semuanya terasa baik-baik saja. Kamu selalu terasa menenangkan. Hingga pada malam hari, ketika aku baru saja selesai mengikuti seminar bisnis di auditoriumnya bersama temanku. Aku melihatmu di lobi hotel tepatnya di meja reservasi bersama perempuan lain lalu kamu dan dirinya berjalan menuju deretan kamar dengan tanganmu yang menggenggamnya erat. Aku pun mengikutimu hingga koridor deretan kamarnya. Kamu sempat menoleh ke belakang, merasa ada yang mengikuti. Aku bersembunyi di balik pembatas pintu antar kamar. Aku mengintipmu di sana. Kamu mengecup bibir perempuan itu. Aku melihatmu mengecupnya lekat sekali di depan kedua mataku sendiri. Kemudian kamu memasuki salah satu kamar bersama perempuan itu.

Seketika aku mematung dibuatnya. Percaya dan tidak percaya bahwa kamu semudah itu melakukannya. Kamu mudah sekali mengkhianati perasaan yang sudah melekat 4 tahun lamanya. Entah kata apa lagi yang menggambarkan perasaanku kali ini. Yang jelas, yang terjadi hanyalah kekacauan yang tidak menentu. Di sepanjang perjalanan pulang, aku menangis sejadi-jadinya dalam mobilku yang dikendarai oleh temanku. Tapi meski demikian, aku tidak berani menegurmu. Aku meyakinkan diri, semuanya akan baik-baik saja.

Sayang, aku telah mempercayaimu. Aku telah memegang janjimu untuk kita menjadi sehidup semati. Aku yakin itu. Tapi mengapa harus ada bekas bibir lain di bibir manismu? Mengapa kemudian kamu benar-benar membenarkan dugaanku? Mengapa kamu mengecupnya? Mengapa kamu mengecup perempuan lain? Dan asal kamu tahu, setelah melihatmu malam itu, hatiku tercabik-cabik bagaikan ada beberapa utas tali tambang yang digulung kemudian menyabet-nyabet. Tidak, sayang. Ini lebih dari itu. Bahkan lebih dari sayatan pisau tajam di dapur. Ini lebih dari palu gada yang dpukul-pukulkan ke bebatuan besar hingga remuk tidak lagi terbentuk. Tapi kamu tidak perlu mengetahuinya. Toh, kamu tidak akan peduli ketika kamu sendiri masih menyalahartikan kesetiaan. Kesetiaan yang kamu artikan dengan memiliki tapi tanpa selalu memeluknya. Kamu tetap menganggap pasanganmu adalah milikmu, tapi kamu tetap bermain kemana-mana. Kamu seakan menganggap, yang penting pada akhirnya kamu akan bersama pasanganmu yang sesungguhnya. Kesetiaan tidak boleh seperti itu, sayang. Kesetiaan pun sangat sakral penempatannya bagi sepasang kekasih. Apalagi telah menyematkan janji untuk sehidup semati. Meski setia tidak bisa direncanakan, tapi setia pun harus dijaga. Kamu tahu kan, cara untuk menjaganya?

Meski kamu telah melingkarkan cincin di jari manisku, kamu telah melukainya, sayang. Kamu telah melukai betapa sakralnya arti dari cincin tersebut. Ya, cincin yang telah kamu lingkarkan setahun yang lalu. Kamu melukai segalanya, juga cinta yang sudah tersematkan sejak 4 tahun yang lalu saat kita baru saja memasuki dunia perkuliahan. Sungguh tidak bisa dipercaya, yang selama ku kira kamu baik-baik saja, kamu adalah sosok lelaki yang setia dan bertanggungjawab atas segalanya termasuk setiap janji yang terucap, kamu dengan teganya melakukan hal tersebut. Teman-temanku berkata bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar apalagi untuk jaman sekarang yang sudah semakin marak perempuan penggoda baik yang bayaran maupun tidak. Meski terkesan bajingan, yang penting pada akhirnya akan sama pasangannya sendiri hingga ke dalam kehidupan pernikahan. Tapi tidak bagiku, sayang. Kecurangan tetaplah kecurangan. Tapi sayangnya hatiku tidak bisa membencimu begitu saja. Seakan sudah terpaut oleh perasaan yang begitu pekat. Lebih pekat dari secangkir kopi espresso hangat kesukaanmu yang sering kamu nikmati di coffeeshop langgananmu. Jangan tanyakan lagi soal ketulusannya. Sudah terlampau dalam, lebih dalam dari dari Palung Mariana. Seharusnya kamu pahami hal itu. Jika sudah begini adanya, aku hanya bisa pasrah pada Tuhan yang Maha Esa.

Dan teruntukmu, lelakiku, pujaanku, dengan segenap janji termanis yang telah terucapkan untuk sehidup semati, yang ku harap kelak menjadi imam terbaik, aku tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Biarpun kamu telah melukai, biarpun kamu telah menjadi apa yang teman-temanku sebut bajingan, aku tetap menjaganya. Menjagamu dalam segala harapan terbaik. Demi cincin manis yang telah melingkar, demi janji, demi perasaan yang telah mengikat kuat. Yang kelak, aku yakin, kita akan sampai pada singgahsana pelaminan yang mengantarkan seluruhnya ke dalam kehidupan pernikahan yang membahagiakan hingga hanya maut yang memisahkan.






Wednesday, May 1, 2019

Our One Night Stand (?) [21+]

Uhm, aroma apa ini? Pikirku saat ku mencium pergelangan tanganku sendiri seusai melepaskan baju ketika hendak mandi pagi. Aku ingat-ingat kembali apa yang telah terjadi. Padahal setiap malam aku hanya terlelap. Aku ingat-ingat kembali sekali lagi. Hmm, ohya, semalam kau disampingku. Aku pandangi sekeliling kamar mandi ini. Tampak lebih luas, bersih, dan wangi. Tidak seperti kamar mandi kost murahku yang sempit, sedikit pesing, dan menjijikkan. Dan hey, ternyata aku berada di sebuah hotel. Jadi, dari semalam aku di hotel bersamamu? Terlelap di sampingmu? Lalu apa yang telah kau lakukan hingga tubuhku tak tercium aroma tubuhku sendiri? Apakah kau telah mendekapku erat seerat-eratnya? Atau aku yang mendekapmu erat seerat-eratnya bak orang yang ketakutan akan terjatuh atau terlepas dari genggaman? Katakan! Apa yang telah kita lakukan? Mengapa aku baru menyadari bahwa pagi ini aku masih berada disini?

Apakah semalam aku tengah mabuk? Ataukah dirimu yang tengah mabuk? Atau memang kita berdua yang tengah mabuk? hingga tak sadar kita masuk ke dalam kamar yang bukan berukuran 3x3m seperti kamar kost-mu ataupun kamar kost-ku. Tapi di kepalaku terngiang-ngiang dentuman keras musik yang biasa dimainkan DJ di club malam, juga gemerlap lampu warna-warninya.

Sebentar, sebentar, aku hampiri cermin wastafel yang menyatu dengan kamar mandi ini. Aku memandangi seluruh tubuhku sendiri. Aku dekatkan tubuhku ke cermin wastafel itu. Sial, apa ini? Apa yang ada di leherku ini? Mengapa leherku penuh dengan bercak-bercak merah? Katakan! Apa yang telah kau lakukan? Apa yang telah kau lakukan pada leherku? Mengapa menyisakan bercak-bercak jelek ini? Ah, mengganggu estetika saja. Pasti akan susah hilang. Sama seperti bekas jerawat yang menyebalkan yang hilangnya membutuhkan waktu berminggu-minggu atau membutuhkan perawatan laser yang bisa menghabiskan banyak biaya. Tapi sebentar, kalau untuk bercak-bercak ini, apakah hilangnya akan sesusah itu? Semoga tidak. Dan semoga orang-orang di sekitarku tidak menyadari keanehan yang ada di leherku ini. Jadi, apa yang telah kau lakukan? Apa yang telah aku lakukan? Apa yang kita lakukan semalam?

Tapi ngomong-ngomong, aroma tubuhmu harum juga. Aku malah jadi berkali-kali mencium aroma tubuhmu yang menempel di tubuhku ini. Ah sialan, mengapa aku malah jadi mabuk kepayang kepadamu? Dalam hati seketika ku berdoa, semoga Tuhan mengampuni apa yang telah terjadi. Semoga Tuhan memaklumi kekhilafanku semalam. Tapi sekaligus berharap, semoga akan ada malam-malam selanjutnya untuk aku bisa mendekapmu lebih erat dan semakin erat lagi.

Saturday, March 30, 2019

Aku Rindu Tanganmu, Ayah!


Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau dengan sukarela meminjamkan tanganmu untuk menuntunku belajar mengendarai sepeda, aku butuh tanganmu untuk mengarungi hidup yang damai dan menenangkan. Dan saat aku terjatuh, kau katakan padaku, “Ini tidak apa-apa.”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau menggenggam tangan aku yang ketakutan saat hendak menyebrangi jalan raya, dan kau katakan padaku, “Yuk, jalan dengan hati-hati.”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengangkat tubuhku saat aku ketakutan untuk menaiki eskalator karena celah kecil sebelum tangga pertamanya, dan kau katakan padaku, “Ayo lewati saja biar cepat sampai di atas!”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengelus dengan lembut kepalaku saat aku mengadukan si kakak yang rese merebut barang kesukaanku, dan kau  katakan padaku, “Sudah, biarkan saja. Nanti diganti sama yang baru.”

Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi? Seperti dulu saat kau mengepalkan tanganmu dengan gagah di atas kepala saat aku kuwalahan mengerjakan PR matematika, dan kau katakan padaku, “Ayo lanjutkan lagi! Segala kesulitan pun pasti akan jadi menakjubkan."

Tapi Ayah, saat aku mulai tumbuh dewasa, kau katakan padaku bahwa ada saatnya tanganmu tidak bisa senantiasa dipinjamkan. Semakin tumbuh dewasa, ada saatnya aku harus mengarungi segala aspek kehidupan dengan mandiri, tanpa tanganmu lagi, melainkan dengan kedua tangan sendiri bahkan berdiri tegak di atas kedua kaki sendiri. Tapi tahukah kau, Ayah? Aspek kehidupan orang dewasa ternyata memiliki pelik yang begitu luas. Bukan hanya takut terjatuh dari sepeda, bukan hanya takut akan keramaian jalan raya, bukan hanya takut akan celah kecil eskalator, bukan hanya kakak yang rese, juga bukan hanya PR matematika yang sulit. Ini semua jauh lebih berat, membuatku sakit kepala, hingga kadang rasanya seperti terbunuh mati dalam peperangan. Aku rasa, aku lebih butuh tanganmu hingga kehangatan pelukmu. Peluk yang bukan sekadar peluk sebelum tidur yang diikuti dengan kentutmu serta tawa geli setelahnnya. Tapi kau katakan padaku, semakin tumbuh dewasa, aku harus menjelajahi dunia yang luas ini, berkenalan dengan banyak manusia, menciptakan banyak relasi, mengembangkan potensi, dan meraih segala mimpi.  Kau katakan padaku bahwa dunia bukan sekadar sepetak desa tempat tinggal. Tapi ayah, dunia yang luas yang kau katakan itu ternyata malah sering berputar-putar di kepala. Saking luasnya, aku sampai bingung mana yang benar dan mana yang salah. Aku sampai bingung kemana seharusnya aku melangkah. Ada banyak tanda panah di depanku. Dan saat aku memilih salah satunya, aku menemukan jalan yang terjal berbatu, naik turun, banyak tikungan tajam. Tak jarang membuatku tersandung bahkan jatuh ke jurang. Tapi kemudian kau katakan padaku untuk jangan menyerah dan tetap melanjutkan perjalanan. Mimpi tak memiliki jarak yang jauh bagi yang percaya akan kesungguhan. Tapi memang benar sih. Hidup tak akan terasa lebih hidup jika hanya membiarkannya mengalir begitu saja. Aku pun percaya tentang pepatah yang mengatakan kita akan menuai apa yang kita tanam. Tapi Ayah, boleh aku meminjam tanganmu lagi untuk melewati semua ini?

Kemudian kau katakan padaku, “Kamu tidak usah khawatir. Kelak akan ada seseorang yang ikhlas sukarela meminjamkan tangannya kapanpun padamu.” Aku pun bertanya, “Siapa Ayah?” Kau menjawab, “Pasanganmu. Lelaki yang tulus menyayangimu. Dia akan selalu menemanimu dalam perjalanan apapun termasuk dalam perjalanan sulit sekalipun. Dia tidak hanya meminjamkan tangannya. Bahkan tangannya, seluruh tentangnya, seluruh hidupnya memang untukmu, memang milikmu. Ini berlaku untuk sehidup semati” Tapi Ayah, lelaki mana yang kau maksud? Mengapa yang ku temukan malah lelaki yang hanya meminjamkan tangannya untuk sesaat? Mengapa yang ku temukan hanyalah lelaki yang meminjamkan tangannya untuk waktu-waktu tertentu? Jadi tangan siapa yang kau maksud, Ayah? Sementara lelaki yang ku temukan adalah lelaki dengan tangan yang menggenggamku saat menonton film di bioskop atau saat berjalan-jalan di taman atau saat ia sedang mengendarai mobilnya atau seusai menyantap hidangan di restoran atau seusai menyantap hidangan di tempat yang hanya semacam warung makan mahasiswa. Lelaki yang ku temukan adalah lelaki dengan tangan yang merangkul pundakku di tempat umum untuk pamer kemesraan atau yang mengacak-acak rambutku atau yang memberikanku sekuntum mawar atau yang menuliskanku sajak-sajak pujangga atau yang sekadar mengelus lututku saat sedang berboncengan motor berhenti di lampu merah. Kemudian lelaki tersebut malah melakukan hal yang sama pada perempuan lainnya. Jadi tangan lelaki mana yang kau maksud, Ayah? Bagaimana untuk mengetahui ia benar-benar sayang atau tidak? Bagaimana untuk mempercayai bahwa tangannya memang untukku? Apakah ia yang menyatakan perasaannya lengkap dengan cincin mewah? Atau ia yang menyatakan perasaannya di sebuah kedai kopi? Atau ia yang menyatakan perasaannya hanya di pesan whatsapp? Atau justru ia yang tidak pernah menyatakan perasaannya tapi menawarkan komitmen bahkan berbagai janji termasuk janji untuk tidak pergi? Tapi setelahnya yang ada hanyalah teka-teki. Semuanya terasa bias. Hingga aku tidak bisa mengerti akan ketulusan. Aku sulit untuk mempercayai sebuah ketulusan suatu genggaman tangan yang melindungi. 

Kemudian kau bertanya padaku, "apa perlu Ayah carikan lelaki itu?" Tapi aku takut. Soalnya aku juga melihat teman-temanku yang sedang digenggam tapi mereka malah merasa terganggu dan kebebasanya terbelenggu. Kok malah begitu ya, Ayah?  Apakah seorang lelaki memang harus sebegitu erat menggenggam pasangannya? Apakah sebuah perlindungan harus sampai tega membatasi hak-hak dan meninggalkan teman-temannya? Apakah memang begitu hakikatnya sebuah genggaman? Tapi Ayah, aku ingin digenggam untuk dituntun bukan dituntut. Aku ingin digenggam untuk seiring bukan digiring.

Aku semakin bingung. Hingga kini aku merasa tak ada yang bisa mengalahkanmu. Aku merasa hanya dirimulah yang terbaik untukku. Aku merasa hanya tanganmu yang mampu melindungi. Aku butuh tanganmu, Ayah! Aku rindu tanganmu! Aku rindu akan dirimu!

Dan aku terjatuh lagi, Ayah. Aku terjatuh pada jurang yang dalam, tersesat, tidak mengerti harus kemana aku lanjutkan langkah. Tolong aku, Ayah! Jika memang belum ada tangan yang tulus selainmu, setidaknya aku ingin tanganmu menawarkan diri untuk mengajakku bangkit dan melangkah lagi.