Seusai
bersolek dengan makeup yang dirasa sudah pas, aku menghembuskan nafas lumayan
panjang. Di depan cermin, aku memeriksa kembali. Takut-takut ada yang salah
dengan rona makeupku. Aku tidak ingin dibuat salah tingkah olehnya ketika sudah
berhadapan denganmu. Nah kan, lipsticknya masih terlihat pucat. Aku pulas lagi
dengan warna yang lebih cerah. Sampai sudah terasa cocok, kamu pun menelfonku,
memberitahuku bahwa kamu sudah tiba di depan kost-ku. Bersama motor
kesayanganmu, kamu tampak rupawan sekali malam ini. Rapi, wangi dan berseri.
Rambutmu tampak sedikit berantakan dan dibiarkan tergerai hingga menutupi
separuh dahimu.
“udah
siap?” tanyamu.
“udah.”
Jawabku dengan tatapan yang masih terperangah padamu.
Kamu
pun langsung melajukan motormu kencang sekali bersama aku yang duduk di belakangmu
sambil memelukmu erat-erat saking takutnya. Takut tapi nyaman. Bagaimana tidak
nyaman? Aroma tubuh yang menyeruak dari punggungmu harum sekali untuk ku sesap
berkali-kali.
Kamu
membawaku ke tempat yang paling menenangkan. Meski angin terus merengkuh dengan
dinginnya malam, kamu tetap paling bisa menghangatkan, dan gemerlap lampu kota
semakin menyempurnakan suasana. Bersama dua cangkir kopi hangat yang sudah di
hadapan, Kita mulai bercerita. Menceritakan segala hal, bercanda ria hingga
memecahkan segalanya.
“Jalan
kesana yuk, ke atas sana, nikmatin pemandangan.” Ajakmu kemudian dengan jari
yang menunjuk ke atas bukit setelah kopi masing-masing telah habis tanpa sisa.
Aku
mengangguk saja, mengiyakan kamu tanpa banyak bertanya. Aku memang suka sekali
dengan kedai kopi ini. Lokasinya yang tidak begitu jauh dengan bukit, membuatku
selalu ingin melanjutkannya dengan bersantai di atasnya.
Dan
setelah melewati tanjakan yang lumayan terjal, kita pun sampai di atas bukit
dengan gemerlap lampu kota yang tampak cantik menghiasi. Kami duduk
berdampingan dengan kakimu yang diselonjorkan, sedang aku hanya duduk bersila.
Aku menghembuskan nafas sejenak. Rasanya rileks sekali.
“Lia?”
Panggilmu tiba-tiba.
“Iya.” Jawabku.
Kamu
mendekatkan kepala di hadapanku. Tepat sekali benar-benar di hadapanku. Aku
yang seketika mematung dengan berantakannya detak jantung, membiarkan matamu
menatapku lekat tepat sekali berhadapan dengan kedua bola mataku. Kamu mengelus
rambutku dengan lembut, dan tak lama kemudian, kamu mengaitkan bibirmu dengan
bibirku. Kedua bibir pun saling berkaitan, saling merengkuh satu sama lain.
Seketika aku merasa gugup.
“Aku
sayang sama kamu.” Potongmu tiba-tiba.
Aku
tersentak, tidak percaya. Apakah mimpiku akan menjadi nyata? Setelah sekian
lama sekitar tiga tahun memendam perasaan, sama sekali tidak pernah berani untuk
aku ungkapkan. Seketika lidahku kelu, gugup untuk menangggapinya.
“Aku
serius.” Lanjutmu. “Tapi..” Aku mengaitkan kembali bibirku dengan bibirmu,
membiarkan semuanya semakin terhanyut dalam suasana. Entah mengapa.
Dan
seketika aku suka ranum bibirmu. Ketika ia menyatu dengan ranum bibirku,
terombang-ambing oleh deras arusnya, dilipat rapi oleh gemerlap lampu kota di
bawahnya serta taburan bintang yang menemani bulan yang setia
menghiasi langit luas, ditutup oleh sentuhan lembut dan pelukan yang
menghangatkan angin malam yang semakin terasa dingin tiada henti membelai
sekujur tubuh. Segala kenyamanan menyatu, mendamaikan kalbu, memanjakan
semuanya. Membuat diri ini tenggelam dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Namun
tiba-tiba kamu melepasnya dan berkata, “tapi aku ngga ngerti harus gimana.”
“Ngga
ngerti? Maksudmu?” Tanyaku heran.
“Ya
ngga ngerti aja and I can’t stand for this one.”
“Maksudmu
gimana sih? Aku ngga ngerti.”
Kamu
hanya terdiam. Kamu terdiam lama sekali tidak lagi bersuara.
Hingga
lantas saja aku memberanikan diri untuk mengungkapkan, “lalu bagaimana jika aku
juga menyayangimu?”
“Jangan!”
Jawabmu.
“Loh
kok jangan?”
“Ngga
usah.”
Aku
mengernyitkan dahi.
“I’m
gonna go.” Lanjutmu. “Lagian setelah lulus kamu akan pulang, kan? Sama, aku
juga. Jadi aku rasa, all just would be hopeless.”
“Nothing
would be hopeless.” Jawabku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Hingga tanpa
terasa air mata menetes di kedua pipiku. Sial, mengapa rasanya jadi sedih
begini?
Sementara
kamu hanya diam tidak menjawab apapun.
Aku
pun kembali memelukmu erat.”Tapi aku sayang kamu.”
Kamu
masih terdiam, hingga kamu pun menjawab, “Iya, aku juga. But I can’t. I’m so
sorry.”
“Aku
sayang kamu.” Aku masih memelukmu dan semakin erat memelukmu. Air mata mulai mengalir
di dadanya. “Kamu jangan pergi.” lanjutku.
Kamu
pun balas memelukku erat sekali dan mengelus rambutku, mengecup serta menyesap
kepalaku.
Dan
kemudian aku tidak bisa berkata apapun lagi. Semuanya jadi terasa haru dan
malam seketika terasa begitu kelabu.
Malam
ini sungguh terasa diluar dugaan. Bukan hanya kamu yang tiba-tiba menciumku
dengan manis dan mengungkapkan kata sayang, namun juga diriku yang tiba-tiba
mampu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Tapi mengapa kamu berkata, “aku
sayang kamu.” saat tiba waktunya kamu hendak pergi? Sedangkan aku inginnya kamu
tidak akan pernah pergi. Aku pun sudah mengungkapkan pinta itu. Apakah kamu
akan mewujudkannya? Atau justru mematahkannya dengan benar-benar pergi
meninggalkanku?
Hingga
tiba saatnya kamu memperoleh hari bahagia, atas suatu target yang telah kamu
usahakan, atas salah satu pencapaian yang sering kamu ceritakan. Senyummu pasti
merekah manis sekali di sana, tatkala namamu yang begitu cantik itu disebut
dengan lantang untuk memindahkan tali dari kiri ke kanan. Maaf, aku tidak bisa
hadir menyambut salah satu alasan senyum manismu. Aku rasa, segala hal sudah
aku ungkapkan pada malam itu. Hatimu pasti sedang berbunga sekali. Aku juga
sedang berbunga. Hanya saja hujan mulai sering menyirami pelupuk mata. Aku
takut ia mengalir begitu saja, teringat akan hari esok yang bisa menjadi hari
kepergianmu dariku. Tentu saja, aku takut merusak kesempurnaan hari bahagiamu.
Selamat ya! Aku turut berbahagia, dan segala doa-doa baik kan senantiasa ku
panjatkan untukmu.
Ah
entahlah! Aku jadi tidak bisa berkehendak atas pintaku tersebut. Aku tidak bisa
memakasakan kamu untuk mewujudkan pintaku bahkan kalaupun keputusanmu adalah
tetap pergi. Aku pun memutuskan untuk berjanji kepada diriku sendiri, juga
kepada dirimu bahwa aku tidak akan meminta apapun lagi. Termasuk pinta, “kamu
jangan pergi.”
Dan
benar saja, beberapa hari setelahnya, kamu tidak pernah ada kabar apapun lagi.
bahkan ucapan ‘selamat!’ yang aku kirimkan melalui pesan whatsapp tidak kunjung
kamu balas hingga detik ini.
Aku
menghembuskan nafas panjang berkali-kali. Entahlah, aku tidak mengerti apa yang
telah terjadi. Hal ini juga rasanya seperti mimpi paling buruk sepanjang
hidupku. Rasanya sampai menyesakkan dada, membuatku hanya termenung mematung di
pojokan kamar sambil meneteskan bulir-bulir air mata. Haruskah aku sampai
merasakan kehilanganmu?
Sialnya
aku tidak punya sebotol anggur untuk merayakannya. Merayakan cerita yang telah
usai, patah hati yang terasa perih sekali, serta rasa yang tidak ingin lagi
kamu semai. Ah, seandainya aku punya sebotol saja serta dirimu duduk di
sampingku, aku lebih memilih untuk bersulang saja semalaman sampai tidak sadar
terlelap dalam pelukan daripada merasakan hati yang patah sepatah-patahnya.
Tapi
tidak apa, mereka berkata bahwa menyayangi itu bukan tentang balasan.
Menyayangi adalah urusan hati yang di dalamnya terdapat ketulusan. Ego tidak berhak ikut campur.
Sejak
saat itu, aku putuskan untuk menyayangimu dalam diam. Biarkan ia berproses
dengan sendirinya sebagaimana segala perasaan termasuk rasa sayang memang
selalu datang secara alamiah. Biarkan semesta yang bekerja. Ia lebih tahu
ketimbang manusia yang menentukan. Hasilnya tentu akan jauh lebih baik dan
bijaksana. Aku pun memutuskan untuk menyembuhkan luka dengan caraku sendiri.
Terima kasih, ya. Terima kasih untuk semuanya, juga untuk perpisahan yang
lukanya terasa begitu perih menyayat hati.
Meski
sedih dan entah sampai kapan, sekali lagi, aku ucapkan selamat! Selamat atas
pencapaianmu. Selamat atas kebahagiaanmu. Selamat atas hari-hari selanjutnya
yang tidak lagi bersamaku. Dari kejauhan sini aku masih bisa memelukmu
erat-erat dan menyesap aroma tubuhmu lekat-lekat. Dan apabila suatu hari nanti
kamu jatuh hati lagi, semoga kamu dapat menjatuhkannya dengan baik. Kamu
menyayanginya dengan baik. Begitupun sebaliknya. Aku harap ia dapat
menyayangimu dengan baik sebagaimana aku menyayangimu dan akan senantiasa
menyayangimu. Semoga senantiasa berbahagia. Aku? Nanti-nanti saja. Kelak, aku
juga akan bahagia meski tidak lagi bersamamu. Meski entah akan seberapa panjang
prosesnya dan seberapa lama waktunya.