Wednesday, November 20, 2019

ONE LAST KISS

Seusai bersolek dengan makeup yang dirasa sudah pas, aku menghembuskan nafas lumayan panjang. Di depan cermin, aku memeriksa kembali. Takut-takut ada yang salah dengan rona makeupku. Aku tidak ingin dibuat salah tingkah olehnya ketika sudah berhadapan denganmu. Nah kan, lipsticknya masih terlihat pucat. Aku pulas lagi dengan warna yang lebih cerah. Sampai sudah terasa cocok, kamu pun menelfonku, memberitahuku bahwa kamu sudah tiba di depan kost-ku. Bersama motor kesayanganmu, kamu tampak rupawan sekali malam ini. Rapi, wangi dan berseri. Rambutmu tampak sedikit berantakan dan dibiarkan tergerai hingga menutupi separuh dahimu. 

“udah siap?” tanyamu.

“udah.” Jawabku dengan tatapan yang masih terperangah padamu.

Kamu pun langsung melajukan motormu kencang sekali bersama aku yang duduk di belakangmu sambil memelukmu erat-erat saking takutnya. Takut tapi nyaman. Bagaimana tidak nyaman? Aroma tubuh yang menyeruak dari punggungmu harum sekali untuk ku sesap berkali-kali. 

Kamu membawaku ke tempat yang paling menenangkan. Meski angin terus merengkuh dengan dinginnya malam, kamu tetap paling bisa menghangatkan, dan gemerlap lampu kota semakin menyempurnakan suasana. Bersama dua cangkir kopi hangat yang sudah di hadapan, Kita mulai bercerita. Menceritakan segala hal, bercanda ria hingga memecahkan segalanya.

“Jalan kesana yuk, ke atas sana, nikmatin pemandangan.” Ajakmu kemudian dengan jari yang menunjuk ke atas bukit setelah kopi masing-masing telah habis tanpa sisa.

Aku mengangguk saja, mengiyakan kamu tanpa banyak bertanya. Aku memang suka sekali dengan kedai kopi ini. Lokasinya yang tidak begitu jauh dengan bukit, membuatku selalu ingin melanjutkannya dengan bersantai di atasnya. 

Dan setelah melewati tanjakan yang lumayan terjal, kita pun sampai di atas bukit dengan gemerlap lampu kota yang tampak cantik menghiasi. Kami duduk berdampingan dengan kakimu yang diselonjorkan, sedang aku hanya duduk bersila. Aku menghembuskan nafas sejenak. Rasanya rileks sekali.

“Lia?” Panggilmu tiba-tiba.

“Iya.”  Jawabku. 

Kamu mendekatkan kepala di hadapanku. Tepat sekali benar-benar di hadapanku. Aku yang seketika mematung dengan berantakannya detak jantung, membiarkan matamu menatapku lekat tepat sekali berhadapan dengan kedua bola mataku. Kamu mengelus rambutku dengan lembut, dan tak lama kemudian, kamu mengaitkan bibirmu dengan bibirku. Kedua bibir pun saling berkaitan, saling merengkuh satu sama lain. Seketika aku merasa gugup.

“Aku sayang sama kamu.” Potongmu tiba-tiba.

Aku tersentak, tidak percaya. Apakah mimpiku akan menjadi nyata? Setelah sekian lama sekitar tiga tahun memendam perasaan, sama sekali tidak pernah berani untuk aku ungkapkan. Seketika lidahku kelu, gugup untuk menangggapinya.

“Aku serius.” Lanjutmu. “Tapi..” Aku mengaitkan kembali bibirku dengan bibirmu, membiarkan semuanya semakin terhanyut dalam suasana. Entah mengapa.

Dan seketika aku suka ranum bibirmu. Ketika ia menyatu dengan ranum bibirku, terombang-ambing oleh deras arusnya, dilipat rapi oleh gemerlap lampu kota di bawahnya serta taburan bintang yang menemani bulan yang setia menghiasi langit luas, ditutup oleh sentuhan lembut dan pelukan yang menghangatkan angin malam yang semakin terasa dingin tiada henti membelai sekujur tubuh. Segala kenyamanan menyatu, mendamaikan kalbu, memanjakan semuanya. Membuat diri ini tenggelam dalam samudera yang sedalam-dalamnya.

Namun tiba-tiba kamu melepasnya dan berkata, “tapi aku ngga ngerti harus gimana.”

“Ngga ngerti? Maksudmu?” Tanyaku heran.

“Ya ngga ngerti aja and I can’t stand for this one.”

“Maksudmu gimana sih? Aku ngga ngerti.”

Kamu hanya terdiam. Kamu terdiam lama sekali tidak lagi bersuara.

Hingga lantas saja aku memberanikan diri untuk mengungkapkan, “lalu bagaimana jika aku juga menyayangimu?”

“Jangan!” Jawabmu.

“Loh kok jangan?”

“Ngga usah.”

Aku mengernyitkan dahi.

“I’m gonna go.” Lanjutmu. “Lagian setelah lulus kamu akan pulang, kan? Sama, aku juga. Jadi aku rasa, all just would be hopeless.”

“Nothing would be hopeless.” Jawabku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Hingga tanpa terasa air mata menetes di kedua pipiku. Sial, mengapa rasanya jadi sedih begini?

Sementara kamu hanya diam tidak menjawab apapun.

Aku pun kembali memelukmu erat.”Tapi aku sayang kamu.”

Kamu masih terdiam, hingga kamu pun menjawab, “Iya, aku juga. But I can’t. I’m so sorry.”

“Aku sayang kamu.” Aku masih memelukmu dan semakin erat memelukmu. Air mata mulai mengalir di dadanya. “Kamu jangan pergi.” lanjutku.  

Kamu pun balas memelukku erat sekali dan mengelus rambutku, mengecup serta menyesap kepalaku.
Dan kemudian aku tidak bisa berkata apapun lagi. Semuanya jadi terasa haru dan malam seketika terasa begitu kelabu.

Malam ini sungguh terasa diluar dugaan. Bukan hanya kamu yang tiba-tiba menciumku dengan manis dan mengungkapkan kata sayang, namun juga diriku yang tiba-tiba mampu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Tapi mengapa kamu berkata, “aku sayang kamu.” saat tiba waktunya kamu hendak pergi? Sedangkan aku inginnya kamu tidak akan pernah pergi. Aku pun sudah mengungkapkan pinta itu. Apakah kamu akan mewujudkannya? Atau justru mematahkannya dengan benar-benar pergi meninggalkanku?

Hingga tiba saatnya kamu memperoleh hari bahagia, atas suatu target yang telah kamu usahakan, atas salah satu pencapaian yang sering kamu ceritakan. Senyummu pasti merekah manis sekali di sana, tatkala namamu yang begitu cantik itu disebut dengan lantang untuk memindahkan tali dari kiri ke kanan. Maaf, aku tidak bisa hadir menyambut salah satu alasan senyum manismu. Aku rasa, segala hal sudah aku ungkapkan pada malam itu. Hatimu pasti sedang berbunga sekali. Aku juga sedang berbunga. Hanya saja hujan mulai sering menyirami pelupuk mata. Aku takut ia mengalir begitu saja, teringat akan hari esok yang bisa menjadi hari kepergianmu dariku. Tentu saja, aku takut merusak kesempurnaan hari bahagiamu. Selamat ya! Aku turut berbahagia, dan segala doa-doa baik kan senantiasa ku panjatkan untukmu.

Ah entahlah! Aku jadi tidak bisa berkehendak atas pintaku tersebut. Aku tidak bisa memakasakan kamu untuk mewujudkan pintaku bahkan kalaupun keputusanmu adalah tetap pergi. Aku pun memutuskan untuk berjanji kepada diriku sendiri, juga kepada dirimu bahwa aku tidak akan meminta apapun lagi. Termasuk pinta, “kamu jangan pergi.”

Dan benar saja, beberapa hari setelahnya, kamu tidak pernah ada kabar apapun lagi. bahkan ucapan ‘selamat!’ yang aku kirimkan melalui pesan whatsapp tidak kunjung kamu balas hingga detik ini.
Aku menghembuskan nafas panjang berkali-kali. Entahlah, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Hal ini juga rasanya seperti mimpi paling buruk sepanjang hidupku. Rasanya sampai menyesakkan dada, membuatku hanya termenung mematung di pojokan kamar sambil meneteskan bulir-bulir air mata. Haruskah aku sampai merasakan kehilanganmu?

Sialnya aku tidak punya sebotol anggur untuk merayakannya. Merayakan cerita yang telah usai, patah hati yang terasa perih sekali, serta rasa yang tidak ingin lagi kamu semai. Ah, seandainya aku punya sebotol saja serta dirimu duduk di sampingku, aku lebih memilih untuk bersulang saja semalaman sampai tidak sadar terlelap dalam pelukan daripada merasakan hati yang patah sepatah-patahnya.

Tapi tidak apa, mereka berkata bahwa menyayangi itu bukan tentang balasan. Menyayangi adalah urusan hati yang di dalamnya terdapat ketulusan. Ego tidak berhak ikut campur.

Sejak saat itu, aku putuskan untuk menyayangimu dalam diam. Biarkan ia berproses dengan sendirinya sebagaimana segala perasaan termasuk rasa sayang memang selalu datang secara alamiah. Biarkan semesta yang bekerja. Ia lebih tahu ketimbang manusia yang menentukan. Hasilnya tentu akan jauh lebih baik dan bijaksana. Aku pun memutuskan untuk menyembuhkan luka dengan caraku sendiri. Terima kasih, ya. Terima kasih untuk semuanya, juga untuk perpisahan yang lukanya terasa begitu perih menyayat hati.

Meski sedih dan entah sampai kapan, sekali lagi, aku ucapkan selamat! Selamat atas pencapaianmu. Selamat atas kebahagiaanmu. Selamat atas hari-hari selanjutnya yang tidak lagi bersamaku. Dari kejauhan sini aku masih bisa memelukmu erat-erat dan menyesap aroma tubuhmu lekat-lekat. Dan apabila suatu hari nanti kamu jatuh hati lagi, semoga kamu dapat menjatuhkannya dengan baik. Kamu menyayanginya dengan baik. Begitupun sebaliknya. Aku harap ia dapat menyayangimu dengan baik sebagaimana aku menyayangimu dan akan senantiasa menyayangimu. Semoga senantiasa berbahagia. Aku? Nanti-nanti saja. Kelak, aku juga akan bahagia meski tidak lagi bersamamu. Meski entah akan seberapa panjang prosesnya dan seberapa lama waktunya.